Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memperkirakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak akan menyetujui rencana untuk perpanjangan restrukturisasi kredit COVID-19 hingga 2025.

“OJK kayaknya tidak setuju (perpanjangan restrukturisasi kredit COVID-19),” katanya usai acara One Map Policy Summit 2024, Kamis, 11 Juli.

Airlangga menyampaikan, pemerintah akan melihat secara keseluruhan dari segi Kredit Usaha Rakyat (KUR) karena ada permintaan dari asuransi untuk meningkatkan jumlah cadangannya.

"Indikatornya itu kalau ada kenaikan dari asuransi, persoalan risikonya meningkat. Risiko meningkat kan berkaitan dengan kredit yang berpotensi bermasalah," ujarnya.

Oleh sebab itu, Airlangga menyampaikan pemerintah sedang melakukan kajian ulang untuk bisa melakukan kebijakan serupa.

“Kita akan studi, ada cara lain yang bisa dilakukan kami kaji dalam kebijakan KUR. Tadinya kan kita buat kelas menengah tetapi kelihatannya menengah ke bawah ini perbankan merasa cukup resilien. Tentu kita lihat KUR secara spesifik,” jelasnya.

Sebelumnya, Ketua OJK Mahendra Siregar mengatakan keputusan untuk mencabut kebijakan restrukturisasi kredit telah melalui perhitungan yang matang dan pertimbangan mendalam terhadap kondisi perbankan dan perekonomian nasional.

"Pada saat OJK menetapkan pengakhiran kebijakan relaksasi restrukturisasi terhadap kredit yang berpengaruh oleh pandemi covid-19, maka juga dihitung berapa besar luka istilahnya luka lebam atau scarring effect dari pandemi ini, terhadap kondisi perbankan dan perkembangan di perekonomian secara menyeluruh," ungkap Mahendra saat konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK, Senin, 8 Juli.

Mahendra mengatakan, jika melihat jumlah sisa kredit restrukturisasi COVID-19 terus menunjukkan tren penurunan sejak kebijakan tersebut berakhir pada Maret 2024.

Berdasarkan data OJK, sisa kredit restrukturisasi COVID-19 pada Mei 2024 tercatat sebesar Rp192,52 triliun.

Jumlah tersebut menurun jika dibandingkan April 2024 yang sebesar 207,40 triliun, dan Rp372,07 triliun pada Mei tahun lalu.

"Angka itu berarti terus menurun dibandingkan pada saat pengakhirannya dan juga dibandingkan pada bulan April. Dengan pembagian bahwa jumlah restrukturisasi yang tentu dibagi dua sifatnya targeted, yaitu itu Rp72,7 triliun, dan jumlah restrukturisasi secara menyeluruh COVID-19 itu Rp119,8 triliun, sehingga jumlah total Rp192,52 triliun," ujarnya.

Sisa kredit restrukturisasi COVID-19 per Mei 2024, lanjutnya, jauh lebih kecil dibandingkan pada periode puncaknya untuk kebutuhan restrukturisasi yang terjadi pada Oktober 2020 yang sebesar Rp820 triliun.

Selain itu, jumlah debitur juga terus menurun di kisaran 702.000 debitur, dibandingkan pada periode awal restrukturisasi yang sebanyak 6,8 juta debitur, atau hampir 10 kali lipatnya.

Mahendra menyampaikan perbankan telah membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang sangat memadai karena coverage rationya sampai 33,8 persen.

Hal ini tentu menunjukkan bahwa perbankan secara umum menerapkan manajemen risiko dan prisnisp kehati-hatian yang baik.

"Bahwa industri perbankan secara umum kinerjanya baik didukung dengan tingkat permodalan yang tinggi dan kami menilainya mampu bukan saja mempertahankan daya tahan yang baik terhadap potensi risiko ke depan, tapi juga yang kami pahami bahwa target untuk 2022 yang telah ditetapkan baik untuk penyaluran kredit maupun target DPK itu sampai saat ini pihak perbankan optimis bisa mencapainya," pungkasnya.