Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani menilai kebijakan stimulus restrukturisasi kredit COVID-19 yang terlalu lama bisa menciptakan moral hazard atau penyimpangan dan tidak semua debitur harus diberikan stimulus restrukturisasi.

“Kalau kebijakan itu dilakukan secara keseluruhan saya rasa nggak masalah, karena kan masih ada juga yang masih punya masalah. Tapi jangan diberlakukan untuk semua. Banyak orang moral hazard gitu loh,” katanya usai acara Edukasi Keuangan BUNDAKU OJK, Selasa, 25 Juni.

Menurut Aviliani, jangan sampai karena ada restrukturisasi semua orang pada minta hal tersebut dan akan berdampak pada kinerja Bank ke depannya.

“Jangan sampai, oh itu karena Pak Jokowi semua orang minta (restrukturisasi). Nah bank-nya yang kasihan. Orangnya nggak perlu direstrukturisasi lagi,” imbuhnya.

Selain itu, Aviliani menyampaikan restrukturisasi bukan hal yang umum dilakukan, tetapi memang dibutuhkan bagi debitur yang memiliki masalah namun memiliki prospek yang baik ke depannya.

Sebab itu, biarkan bank yang memberikan justifikasi.

Aviliani menyampaikan, debitur yang menerima stimulus restrukturisasi akan sulit untuk mengajukan kredit baru ke bank lain.

Lantaran memiliki catatan merah pada perbankan.

“Karena kalau orang yang sudah restrukturisasi, dia mau pindah bank tuh nggak diterima oleh bank lain. Karena nanti dianggap oleh si pengawas OJK-nya adalah, kamu sudah restrukturisasi, kok pindah ke bank lain?” jelasnya.

Aviliani meminta, OJK untuk mempertimbangkan kembali keputusan untuk melanjutkan program restrukturisasi dan mensosialisasikan lebih detail terkait hal tersebut.

"Harusnya restrukturisasi di masa COVID-19 itu adalah masa di mana mereka memang punya masalah kan sebenarnya. Makanya dia restrukturisasi. Bukan karena jeleknya perusahaan. Jadi mungkin juga perlu di OJK-nya mensosialisasikan. Bahwa orang yang restrukturisasi kalau mau pindah bank atau mau apa ya enggak apa-apa yang penting dia punya kemampuan bayar," ujarnya.