Bagikan:

JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Advokasi HAM Internasional resmi menyatakan posisi politiknya dalam Pemilu 2024.

Sikap politik ini didasarkan pada dua laporan alternatif koalisi masyarakat sipil Indonesia untuk advokasi HAM internasional untuk isu ekonomi, sosial dan budaya yang disampaikan kepada Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan judul, “The Dark Side of Indonesia’s Development under Joko Widodo” dan laporan alternatif untuk isu sipil dan politik kepada Komite Hak Sipil dan Politik PBB dengan judul, “Repressive Developmentalism and Sectarian Populism in Indonesia“.

Dua laporan bayangan ini disusun oleh gabungan kelompok masyarakat sipil lebih dari 40 lembaga. Laporan ini akan menjadi salah satu bahan Komite HAM dan Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob) untuk melakukan dialog strategis bersama pemerintah RI pada 20-21 Februari dan 11-12 Maret 2024 di Jenewa, Swiss.

Pertama, koalisi menggugat dan mendesak Presiden Joko Widodo untuk mundur dari jabatannya karena lalim, tidak melaksanakan mandatnya yakni menjalankan pemerintahan secara adil untuk semua.

“Menghukum Joko Widodo dan koalisinya secara sosial dengan tidak memilih pasangan capres-cawapres yang hanya akan melahirkan politik dinasti, tuna etika, dan yang akan menjadikan negara ini kembali menjadi negara otoriter dan dengan agenda-agenda eksploitatif yang merusak lingkungan,” ujar Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia Daniel Awigra dalam keterangan resmi, Senin 12 Februari.

Koalisi juga mengajak publik, khususnya pelajar-mahasiswa, buruh, tani, nelayan, kaum miskin kota, orang muda, seluruh korban pelanggaran HAM, untuk bersatu melawan setiap represi, mendorong agenda politik yang bermartabat, jujur dan adil, menghargai, melindungi, dan memenuhi HAM, melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Lebih lanjut, koalisi memandang pemerintahan Jokowi telah gagal dalam menjalankan kewajiban penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak sipil dan politik (sipol) juga hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob).

Pemerintah Jokowi – khususnya dalam masa pandemi COVID-19 dan setelahnya– juga dianggap membuat sejumlah kebijakan yang berorientasi pasar yang justru merusak demokrasi, menyuburkan korupsi, eksploitatif dan ekstraktif terhadap sumber daya alam yang menguntungkan sebagian kecil elite dan keluarganya serta semakin menjauhkan kelompok rentan untuk mendapatkan hak-haknya.

“Dari kerja-kerja pemantauan dan advokasi yang dilakukan oleh anggota dan jaringannya, koalisi menyatakan, rezim Jokowi telah melakukan banyak pelanggaran HAM dan secara sistematis dengan melakukan korupsi politik, termasuk kejahatan elektoral, khususnya memanfaatkan situasi pandemi dan pemilu untuk mendorong agenda otoritarian eksploitatif yang oportunistik,” ujar Daniel.

Pada akhir 2023 dan awal 2024, koalisi juga melihat laku politik Jokowi yang merusak demokrasi karena melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan kelompok dan keluarganya.

Mulai dari kasus pelanggaran serius kode etik Ketua Mahkamah Konstitusi yang memberikan putusan banal yang meloloskan putranya, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil Presiden hingga kasus etik berat Ketua Komisi Pemilihan Umum dalam pencalonan Prabowo-Gibran, yang keseluruhannya ini dapat merusak integritas Pemilu.

“Inilah sisi gelap pembangunan di bawah pemerintahan Joko Widodo dengan agenda-agenda otoritarian eksploitatif diwujudkan melalui proses yang nampaknya demokratis, melalui jalur-jalur formal seperti pembuatan UU, mekanisme hukum, dan pemilu,” ujar Daniel.