JAKARTA - Serangan darat militer Israel ke Kota Rafah sama dengan mengakhiri perundingan mengenai sandera, lapor saluran televisi Al-Aqsa pada Hari Minggu, mengutip sumber kepemimpinan Hamas.
Televisi itu melaporkan, sumber pemimpin Hamas mengatakan, serangan terhadap Rafah berarti "kehancuran" negosiasi yang telah berlangsung selama berminggu-minggu.
"Netanyahu berusaha menghindari kewajiban perjanjian pertukaran (sandera) dengan melakukan genosida dan bencana kemanusiaan baru di Rafah," kata Al-Aqsa mengutip sumber Hamas, dilansir dari CNN 12 Februari.
Dalam sebuah pernyataan pada Hari Jumat, kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan, pihaknya telah mengarahkan militer untuk merencanakan "evakuasi penduduk" dari Rafah guna mengantisipasi serangan darat terhadap kota di Gaza selatan tersebut.
Pada Hari Sabtu, PM Netanyahu meminta Israel Defense Forces (IDF) untuk memobilisasi tentara cadangan, sebagai bagian dari persiapan serangan darat terhadap Rafah, menurut laporan media lokal.
Kepala Staf IDF Letjen Herzi Halevi dikutip dari Channel 13 mengatakan, militer Israel siap menjalankan misi apa pun, "tetapi ada aspek politik yang harus ditangani terlebih dahulu."
Sementara dalam sebuah wawancara dengan ABC yang dirilis pada Hari Minggu, PM Netanyahu menyebut Rafah sebagai "benteng terakhir" Hamas dan mengatakan Israel sedang "mengerjakan rencana terperinci", untuk mengamankan "jalan yang aman" bagi warga sipil tetapi hanya memberikan sedikit rincian.
BACA JUGA:
Diketahui, lebih dari satu juta orang tinggal di Rafah, yang merupakan wilayah besar terakhir di Gaza yang belum dimasuki militer Israel.