Pemimpin Junta Militer Myanmar Temui Utusan Khusus ASEAN: Bahas Perdamaian hingga Rekonsiliasi
Pemimpin junta militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing. (Wikimedia Commons/Mikhail Frolov)

Bagikan:

JAKARTA - Pemimpin junta militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing menemui utusan khusus ASEAN, kata media pemerintah Hari Kamis, di tengah upaya blok tersebut untuk mendorong perdamaian di Myanmar.

Penguasa militer tersebut bertemu dengan Alounkeo Kittikhoun, utusan ketua ASEAN, yang kini dipegang oleh Laos, untuk krisis Myanmar, di tengah frustrasi atas kurangnya komitmen dari para jenderal untuk menjalin perdamaian berdasarkan rencana yang disepakati di antara semua anggota ASEAN, termasuk Myanmar, pada tahun 2021.

Surat kabar Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah melaporkan, kedua pemimpin tersebut membahas "usaha pemerintah untuk menjamin perdamaian dan stabilitas negara dan rekonsiliasi nasional", seperti dikutip dari Reuters 11 Januari.

Jenderal Senior Min Aung Hlaing sendiri mengatakan, pemerintahannya "menerapkan konsensus lima poin ASEAN yang disesuaikan dengan peta jalan Dewan Administrasi Negara", menurut surat kabar tersebut.

Para jenderal mengumumkan peta jalan lima poin mereka segera setelah merebut kekuasaan. Hal ini sangat berbeda dengan rencana ASEAN, yang lebih berpusat pada pemulihan pandemi dan membentuk badan pemungutan suara sendiri, untuk menyelenggarakan pemilu baru setelah keadaan darurat berakhir.

Sementara itu, juru bicara NUG (Pemerintah Persatuan Myanmar) Kyaw Zaw mengatakan, utusan khusus tersebut harus bertemu dengan seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya junta.

"Setelah tiga tahun berlalu, pemimpin junta telah membuktikan mereka tidak memiliki kemauan untuk menerapkan Konsensus Lima Poin. Sangat penting untuk terlibat langsung dengan pemerintah NUG yang sah, kelompok etnis bersenjata dan kekuatan perlawanan," kata Kyaw Zaw.

Diketahui, Myanmar mengalami siklus kekerasan berkepanjangan sejak militer merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih dalam kudeta tahun 2021. ASEAN telah berulang kali mendesak junta untuk menghentikan permusuhan dan menerapkan "Konsensus Lima Poin".

Junta menolak untuk memulai dialog dengan lawan-lawannya dalam NUG dan gerakan perlawanan pro-demokrasi, yang merupakan komponen kunci dari perjanjian tersebut, menyebut mereka "teroris".

Sementara itu, kekerasan meningkat dalam beberapa bulan terakhir ketika tentara etnis minoritas, terutama di Myanmar utara, meningkatkan upaya untuk mengusir junta dari wilayah mereka, merebut pos-pos terdepan dan kota komersial besar di perbatasan dengan Tiongkok.

Militer juga menghadapi pertempuran di berbagai bidang melawan milisi pro-demokrasi yang dibentuk setelah tindakan keras mereka terhadap protes nasional.