JAKARTA - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengungkapkan anak-anak muda setidaknya harus mampu menguasai empat bahasa untuk menyambut Indonesia Emas 2045.
"Saat ini setidaknya anak muda harus bisa menguasai empat bahasa, yakni bahasa lokal, bahasa nasional, internasional, dan bahasa coding," katanya dalam orasi ilmiah pada rapat terbuka Dies Natalis ke-61 Universitas Brawijaya (UB) di Samantha Krida, Malang, Jawa Timur (Jatim), Jumat 5 Januari, disitat Antara.
Dalam orasi ilmiah yang berjudul "Peran Perguruan Tinggi Menuju Indonesia Emas" itu, Suharso mengatakan dengan memahami bahasa coding anak muda akan fasih di bidang teknologi informasi (TI) dan mampu berkreasi serta memiliki kemampuan bahasa yang baik.
Pada kesempatan itu, ia mengaku memiliki kerja sama dengan sejumlah universitas. "Untuk rumah sakit (RS) pendidikan, UB pernah mengusulkan, tapi tidak dilanjutkan lagi," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, pihaknya mendorong agar melakukan riset yang intensif. "Waktu itu dengan Unair, tapi saya tahu tentang penyakit apa. Karena sudah ada yang melakukan riset tentang DB, kanker (Universitas Padjajaran) dan Teknolog i-Medicine (ITB)," ujarnya.
BACA JUGA:
Suharso berharap UB bisa merealisasikan itu, terutama riset-riset terapan dengan basis sumber daya alam (SDA) yang dimiliki Indonesia, termasuk problem selalu adanya impor daging sapi.
Ia bilang, pernah datang ke sebuah negara, di mana negara tersebut mengklaim sebagai ibu kota daging dunia. Ini ternyata ada relasi dengan perguruan tinggi di negara itu.
"Misalkan, UB kuat di Fakultas Pertanian, bisa membantu di bidang tersebut," katanya.
Selain Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati juga menyampaikan orasinya melalui tayangan video dan dosen Fikes UB Dr Ns Lilik Supriati, SKep, MKep yang menyampaikan orasi ilmiah tentang "Penguatan Mental Health Awareness sebagai Perspektif Pendekatan Burnout dalam Tatanan Perguruan Tinggi".
Lilik mengatakan burnout di ranah perguruan tinggi menyebabkan penurunan kinerja dan bisa berdampak pada stres berat. "Burnout adalah kondisi sangat lelah, sehingga pekerjaan tidak bisa dikerjakan dengan cepat," ujarnya.
Lilik memaparkan burnout diawali dengan kelelahan fisik, selalu merasakan kekurangan energi, kelelahan emosional, merasa terperangkap dalam pekerjaan.
"Akhirnya muncul sikap sinis pada orang lain dan pekerjaan. Dampaknya akan merugikan diri sendiri, institusi dan penurunan kerja," tandasnya.