Revisi Kedua UU ITE yang Ditandatangani Jokowi Dikritik karena Masih Pertahankan Pasal Karet
Ilustrasi UU ITE (Foto: DOK LBH Pers/Facebook)

Bagikan:

JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) mengktitisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Kamis, 4 Januari.

Koalisi Serius memandang revisi kedua UU ITE masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses.

"Alih-alih menghilangkan pasal yang selama ini bermasalah, koalisi menemukan bahwa perubahan Undang-undang ini masih mempertahankan masalah lama," tulis keterangan Koalisi Serius, dikutip pada Jumat, 5 Desember.

Adapun pasal yang dimaksud yakni Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil; Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik; hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.

"Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia," ungkapnya.

Masalah lainnya, pemerintah dan DPR menambah ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang.

Pasal 27B ayat (1) berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:

a. Memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain,

b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.

Pasal 2B ayat (2) berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:

a. Memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain,

b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.

Selain itu, ada juga pasal 28 ayat 3 dan pasal 45A ayat (3) tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru. Pasal ini berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini.

Pasal 28 ayat 3 berbunyi Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.

"Ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran," ujar Koalisi Serius.

Lebih lanjut, Koalisi Serius menilai hasil revisi kedua UU ITE masih mempertahankan Pasal 40 yang memberikan kewenangan besar bagi pemerintah memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan dan melanggar hukum.

Atas dasar itu, Koalisi Serius menolak pengundangan Revisi Kedua UU ITE oleh DPR RI karena telah mengabaikan partisipasi publik bermakna, serta terus melanggengkan pasal-pasal yang berpotensi digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan pelanggaran HAM lainnya.

"Mendesak pemerintah untuk memastikan implementasi UU No.1/2024 agar tidak digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok kritis dan korban kejahatan yang sesungguhnya. Serta, mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menerapkan partisipasi publik yang bermakna dalam setiap pengambilan keputusan," pungkasnya.