Prancis, Jerman, Inggris dan AS Kompak Kutuk Peningkatan Pengayaan Uranium Iran
Fasilitas nuklir Bushehr milik Iran (Wikimedia Commons/Tasnim News Agency/Hossein Heidarpour)

Bagikan:

JAKARTA - Prancis, Jerman, Inggris dan Amerika Serikat kompak mengecam peningkatan produksi uranium yang diperkaya hingga tingkat kemurnian 60 persen oleh Iran, mendekati tingkat yang digunakan untuk bahan bakar senjata nuklir, pada Hari Kamis.

Dalam pernyataan bersama, keempat sekutu tersebut tidak menyebutkan konsekuensi apa pun yang mungkin dihadapi Iran atas kenaikan produksi tersebut, namun menyerukan pembatalannya, mengatakan mereka tetap "berkomitmen pada solusi diplomatik" atas perselisihan mengenai program nuklir Teheran.

"Produksi uranium yang diperkaya tinggi oleh Iran tidak memiliki pembenaran sipil yang dapat dibenarkan," bunyi pernyataan itu, melansir Reuters 29 Desember.

"Keputusan ini mewakili perilaku sembrono dalam konteks regional yang tegang," lanjutnya.

Terpisah, pengawas nuklir PBB, Badan Energi Atom Internasional (IAEA), mengatakan dalam sebuah laporan pada Hari Selasa, Iran telah membalikkan perlambatan selama berbulan-bulan dalam tingkat produksi uranium yang diperkaya hingga kemurnian 60 persen.

"Kami mengutuk tindakan ini, yang menambah eskalasi program nuklir Iran yang terus berlanjut," kata pernyataan bersama tersebut.

Sementara itu, Iran pada Hari Rabu menolak laporan IAEA dan menyebutnya sebagai "bukan hal baru" dan mengatakan pihaknya menjalankan programnya "sesuai aturan."

Diketahui, Teheran sudah memiliki cukup uranium dengan kemurnian 60 persen, jika diperkaya hingga 90 persen, untuk membuat tiga bom nuklir, menurut definisi teoretis IAEA. Namun, Teheran membantah berupaya membuat senjata nuklir.

Inggris, Prancis dan Jerman diketahui tetap menjadi pihak dalam Kesepakatan Nuklir 2015 (JCPOA) yang dirancang untuk mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir.

Sedangkan Negeri Paman Sam bukan lagi pihak dalam kesepakatan, usai mantan Presiden AS Donald Trump membawa AS keluar dari perjanjian pada tahun 2018, sehingga mendorong Iran untuk secara bertahap melanggar batasannya.