Bagikan:

JAKARTA - Anggota Dewan Pers Myanmar dan sejumlah wartawan lainnya, menyatakan pengundurkan diri dari Dewan Pers dan perusahaan tempat mereka bekerja, setelah militer mengeluarkan sejumlah aturan yang dinilai mengekang kebebasan pers.

Pada 13 Februari, Kementerian Informasi (MOI) yang dikelola militer mengeluarkan arahan kepada Dewan Pers Myanmar, mendesak media untuk melaporkan berita secara etis dan menghindari memicu keresahan publik.

Arahan yang berlaku untuk seluruh media, dengan penekanan kepada surat kabar, mingguan dan media online, yang melarang penyebutan rezim atau junta terhadap Dewan Administrasi Negara (SAC) yang dibentuk secara 'konstitusional' oleh militer.

Sebelas anggota Dewan Pers Myanmar pun mengundurkan diri, setelah pengumuman tersebut dikeluarkan. Dalih yang dipakai, militer Myanmar telah membatasi kebebasan pers. Sekretaris Gabungan Dewan Pers U Myint Kyaw mengatakan, pihaknya kesulitan melindungi jurnalis yang telah ditahan, ditangkap dan dipukuli beberapa hari terakhir. 

jurnalis myanmar
Jurnalis Myanmar mendukung aksi tolak kudeta militer. (Twitter/@Kyi2255)

“Tidak mudah melindungi jurnalis, meski (faktanya) kami adalah anggota dewan. Itu tidak baik untuk kami dan media. Makanya, kami mundur dari dewan,” kata U Myint Kyaw, seperti melansir The Irrawaddy.

Terpisah, belasan jurnalis The Myanmar Times, termasuk sejumlah editor kenamaan, mengundurkan diri setelah manajemen melakukan intervensi untuk menghadiri konferensi pers penguasa militer. Sementara, para jurnalis memboikot acara tersebut.

Sementara itu, sejumlah editor dan jurnalis mengatakan kepada The Irrawaddy, mereka telah diganggu dalam pemberitaan harian, diinstruksikan untuk menggunakan istilah yang ditentukan oleh Kementerian Informasi yang mengakui kekuasaan militer sejak kudeta.

jurnalis myanmar
Unjuk rasa jurnalis Myanmar. (Twitter/@Kyi2255)

Selain rezim dan junta, sejumlah kata yang diminta militer Myanmar untuk diganti antara lain, kudeta menjadi transfer kekuasaan, pemimpin militer menjadi panglima militer, pemimpin kudeta menjadi Ketua SAC.

Salah satu editor terkemuka yang meminta namanya dirahasikan menuturkan, setelah kudeta militer manajemen meminta ruang redaksi untuk menggunakan istilah yang disetujui oleh rezim militer dalam pemberitaannya. Juga diminta untuk menghindari pemberitaan oposisi terhadap militer.

“Dalam keadaan ini, kami harus membantu orang untuk mengetahui lebih banyak tentang situasi saat ini. Pelaporan kami tidak akan berarti, jika kami tidak melaporkan tentang krisis saat ini. Dan penggunaan kata-kata kami diganti dengan yang lemah,” ungkap Editor The Myanmar Times ini.

"Kami sebagai jurnalis merasa malu jika terus bekerja di bawah penyensoran seperti itu," imbuhnya. 

Saat dihubungi The Irrawaddy, Chief Operating Officer U Wai Lin dari Myanmar Times membantah tuduhan penyensoran di ruang redaksi.

“Kami hanya meminta mereka mematuhi instruksi Kementerian Penerangan dan netral sebagai media,” singkatnya.