JAKARTA - Ketua Dewan Pakar Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas Amin) Hamdan Zoelva mengatakan pasal dalam RUU Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) yang mengatur Gubernur Jakarta dan Wakilnya dipilih Presiden RI merupakan kemunduran demokrasi.
"Ini benar-benar memberikan kesimpulan yang sangat kuat, bahwa demokrasi mundur dan ini tidak boleh terjadi," kata Hamdan yang juga eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Kamis 7 Desember, disitat Antara.
Zoelva mengatakan, RUU DKJ yang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan kemunduran bagi demokrasi di Indonesia yang sudah di bangun sejak lama.
Menurut dia, Jakarta merupakan kota terpenting di Indonesia sehingga RUU DKJ ini perlu dilawan dan ditentang agar demokrasi tidak mundur.
Ia menambahkan, ketika gubernur ditunjuk langsung oleh presiden, maka kepala daerah tersebut akan tunduk kepada presiden. Dengan begitu, gubernur tersebut tidak memiliki hubungan yang kuat dengan masyarakat.
"Kalau gubernur tidak dipilih oleh rakyat hanya ditunjuk presiden, dia tergantung dengan komando presiden dan menjauh dari rakyat itu sangat berbahaya," tuturnya.
BACA JUGA:
Zoelva mengatakan, jika pasal penunjukan gubernur secara langsung oleh presiden itu disahkan, maka akan menjadi sejarah yang penuh masalah. Bahkan, dalam era Orde Baru pun, pemilihan gubernur tidak ditentukan langsung oleh presiden.
Zoelva meminta agar RUU DKJ tersebut dikaji kembali, agar demokrasi di Indonesia tidak mengalami kemunduran parah.
"Ini baru terjadi, sepanjang orde baru pun tidak pernah terjadi, gubernur pada pemerintah Soeharto itu diusulkan oleh DPRD dan ada tiga orang, sekarang baru pertama sekali dalam sejarah kita ada pemikiran untuk menunjuk seorang gubernur. Ini masalah besar," katanya.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian sebelumnya mengatakan, RUU DKJ terkait dengan penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden merupakan inisiatif DPR.
Tito menjelaskan, penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden tercantum dalam pasal 10 RUU DKJ. RUU tersebut masih berupa draft yang disepakati oleh DPR, namun belum disampaikan ke pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri.
Tito menegaskan pemerintah tidak setuju dengan poin yang disampaikan oleh DPR melalui RUU DKJ. Meski Jakarta nantinya tidak lagi berstatus sebagai ibu kota negara, mekanisme pemilihan kepala daerah akan dilakukan melalui pilkada.
"Pemerintah ingin ada pilkada untuk memilih Gubernur Jakarta demi menghormati prinsip demokrasi yang sudah berlangsung, jadi tidak berubah, tidak ada penunjukan. Nanti seperti apa di DPR, kita sama-sama melihat," kata Tito.