Pimpinan KPK Putuskan Tak Beri Firli Bantuan Hukum di Kasus Pemerasan SYL
Mantan Ketua KPK Firli Bahuri (DOK ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Empat Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan tak memberikan bantuan hukum terhadap Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri. Pembahasan sudah dilakukan lewat rapat pimpinan pada hari ini, Selasa, 28 November.

Diketahui, Firli ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemerasan atau penerimaan gratifikasi dari eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo. Kasus ini ditangani Polda Metro Jaya.

“Dari hasil pembahasan, pimpinan KPK sepakat untuk tidak memberikan bantuan hukum terkait penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang sedang berproses di Polda Metro Jaya,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 28 November.

Pembahasan dipastikan sudah sesuai rujukan aturan, kata Ali. Salah satunya Peraturan Pemerintah (PP) tentang Hak, Keuangan, Kedudukan, Protokol dan Perlindungan Keamanan Pimpinan KPK.

“Ada ketentuan di sana bahwa bantuan hukum dan perlindungan keamanan diberikan terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang KPK,” tegasnya.

“Rapat pimpinan membahasnya dan berkesimpulan bahwa dugaan tindak pidana yang sedang berproses di Polda Metro Jaya tidak sesuai dengan ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah dimaksud sehingga KPK tidak memberikan bantuan,” sambung Ali.

Diberitakan sebelumnya, Ketua Sementara KPK Nawawi Pomolango bilang mempertimbangkan banyak hal dalam pemberian bantuan hukum untuk Firli Bahuri. Salah satunya, prinsip tak menoleransi praktik korupsi di internal lembaga.

“Kami banyak mempertimbangkan banyak hal karena kita punya komitmen lembaga ini adalah lembaga yang harus zero tolerance daripada isu korupsi,” kata Nawawi seperti dikutip dari YouTube KPK RI, Selasa, 28 November.

“Itu akan menjadi bagian pertimbangan kami apakah akan melakukan pendampingan atau tidak kepada yang bersangkutan,” sambungnya.

Firli resmi ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan hasil gelar perkara yang dilakukan Rabu, 22 November. Polisi menduga dia terlibat dalam pemerasan dan penerimaan gratifikasi.

Beberapa alat bukti yang menjadi dasar penetapan tersangka adalah dokumen penukaran valas senilai Rp7,4 miliar. Kemudian, ada juga hasil ekstraksi 21 ponsel.

Dalam kasus dugaan pemerasaan dan penerimaan gratifikasi, Firli disangka dengan Pasal 12e, 12B atau Pasal 11 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 65 KUHP. Firli terancam pidana penjara seumur hidup.