Bagikan:

JAKARTA - Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid mengatakan larangan anak perempuan untuk belajar setelah sekolah dasar adalah 'masalah kecil' dan tidak boleh menjadi halangan bagi masyarakat internasional mengakui pemerintahan Afghanistan di bawah mereka.

Mujahid mengatakan kepada Kyodo Nyews di Kandahar, seperti dikutip 23 November, pendidikan perempuan adalah "masalah internal" dan saat ini sulit untuk meyakinkan kaum konservatif dan moderat untuk "satu meja" membahas masalah ini.

Mujahid menggambarkan kritik terhadap pembatasan pendidikan perempuan sebagai "alat propaganda negara-negara Barat untuk mengisolasi kami."

"Jika kami membuka kembali sekolah perempuan (sekarang), orang akan berpikir bahwa kami mendapat tekanan dari Amerika Serikat dan komunitas internasional," jelasnya.

"Kami tidak menginginkan hal itu," tandas Mujahid.

Taliban diketahui menangguhkan pendidikan menengah dan tinggi bagi anak perempuan, melarang pegawai perempuan di organisasi nasional dan internasional yang beroperasi di Afghanistan untuk bekerja. Tindakan ini memicu kecaman keras dari negara-negara Barat.

Taliban, yang kembali berkuasa pada Agustus 2021, tidak diakui oleh komunitas internasional sebagai pemerintah yang sah. Salah satu penyebabnya adalah karena kekhawatiran terhadap pengakuan hak-hak perempuan dan anak perempuan.

Meskipun hal tersebut bukan merupakan prioritas saat ini, Mujahid mengatakan pendidikan menengah dan tinggi bagi anak perempuan dan perempuan dapat dilanjutkan dalam beberapa tahun ke depan.

Sebelumnya, setelah Taliban mengambil alih Afghanistan, Ketua Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet mengatakan perlakuan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan akan menjadi “garis merah mendasar” yang tidak boleh dilanggar.

Namun Mujahid bersikeras, melanjutkan pendidikan bagi perempuan tidak boleh menjadi syarat untuk mengakui Taliban sebagai pemerintah yang sah.

"Jika kami diakui, kami akan mampu mengatasi masalah ini dengan lebih baik dan lebih mudah," katanya, seraya menambahkan negaranya akan membutuhkan bantuan dari Jepang dalam hal transportasi dan bangunan, setelah negara tersebut siap membuka kembali sekolah perempuan.

Pemerintah Jepang sendiri mengatakan akan terus bekerja sama dengan komunitas internasional untuk mendesak Taliban agar membatalkan kebijakannya terhadap perempuan dan anak perempuan, sambil melanjutkan upaya untuk memastikan perdamaian dan stabilitas di Afghanistan.

Awal tahun ini, Pemimpin Taliban Hibatullah Akhundzada dan para menterinya membahas masalah melanjutkan pendidikan bagi anak perempuan dan perempuan. Tetapi, mereka gagal mencapai kesepakatan karena mendapat tentangan dari kelompok garis keras.