Bagikan:

JAKARTA - Wacana pemerintah yang akan memberlakukan insentif penjualan barang mewah ditanggung pemerintah (PPnBM-DTP) sektor kendaraan bermotori pada 1 Maret mendatang dinilai mendatangkan risiko tersendiri terhadap penataan transportasi nasional.

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang mengatakan kebijakan terbaru yang bakal digelontorkan tersebut kontradiktif dengan semangat penataan transportasi massal yang belakangan digencarkan pemerintah.

“Sektor transportasi dengan susah payah bertahun-tahun berusaha bagaimana caranya merekayasa lalu lintas agar tidak macet dan lintas jalan kembali produktif,” ujarnya dalam keterangan tertulis kepada VOI, Selasa, 16 Februari.

Menurut Deddy, aturan PPnBM-DTP akan menggiring harga jual kendaraan bermotor lebih terjangkau yang berarti memperbesar volume kendaraan yang bakal turun ke jalan.

“Dengan adanya penghapusan PPnBM mobil, diskon pajak dan bahkan kemungkinan DP (down payment) 0 persen, ini bisa diibaratkan sebagai petaka atau bencana untuk penataan transportasi,” tuturnya.

Infrastruktur jalan minim

Sampai hari ini Indonesia disebut Deddy masing menggunakan indikator keberhasilan ekonomi yang diukur dengan pembelian kendaraan roda empat (mobil).

“Barangkali masih ada pandangan konservatif bila di jalan sangat macet berarti ekonomi berhasil,” katanya.

Dia menambahkan, bila dibandingkan mode-share angkutan umum (data Bappenas) di Jakarta, Bandung, dan Surabaya juga masih di bawah 20 persen dan jauh di bawah Singapura (61 persen), Tokyo (51 persen), dan Hongkong (92 persen).

Sementara jika dilihat dari produk domestik bruto (PDB), ketiga negara ini jelas melampaui Indonesia. Namun, kenyataan pengguna angkutan umum di sana jauh lebih banyak. Artinya, kemajuan ekonomi mereka bukan berdasar atas kepemilikan kendaraan.

Sebagai catatan, TomTom Traffic Index pada 2020 mengeluarkan Jakarta dari 10 besar kota termacet di dunia ke posisi 31. Tetapi yang perlu diingat adalah traffic index dirilis saat situasi pandemi dengan kenyataan bahwa banyak karyawan kerja di rumah, kegiatan bisnis terhenti dan sekolah melakukan aktivitasnya di rumah.

Ilustrasi. (Angga Nugraha/VOI)

“Jumlah kendaraan kita masih sangat banyak bila dibandingkan dengan infrastruktur jalan yang minim, pertumbuhan jalan hanya 0,01 persen pertahun, bandingkan dengan pertumbuhan kendaraan baru yang mencapai 16 persen per tahun,” ucapnya.

Kegagalan Transportation Demand Management (TDM)

Apabila benar skenario PPnBM gratis, diskon pajak, hingga DP 0 persen benar terjadi, maka dapat memberi imbas negatif bagi pengembangan konsep Transportation Demand Management (TDM). Skema ini sendiri memerlukan peraturan dan strategi tersendiri untuk meminimalisir kebutuhan akan kendaraan pribadi.

Deddy memprediksi bakal terjadi ‘perpecahan’ dalam tubuh pemerintah. Pasalnya, aparatur yang bekerja pada sektor transportasi akan mengacu pada pengukuran kinerja dengan menggunakan indikator meminimalisir kemacetan lalu lintas dan menekan kecelakaan di jalan.

Evaluasi tahunan di tubuh Kementerian Perhubungan menyebutkan bahwa bertambahnya jumlah kendaraan akan mengakibatkan peningkatan kemacetan dan potensi kecelakaan di jalan.

Sementara  bagi yang berkecimpung di sektor perekonomian, tingkat keberhasilan diukur berdasarkan output yang dihasilkan.

“Jelaslah di sini terdapat celah kepentingan besar bila tanpa kompromi, dan sudah barang tentu yang akan terganggu adalah sistem transportasi itu sendiri,” tegasnya.

“PPnBM gratis ini bagai mimpi buruk di siang hari untuk sektor transportasi. Pendekatan TDM akan gagal karena target shifting ke angkutan umum diproyeksi sangat sulit dicapai,” sambung Deddy.

Asumsi ekonomi pemerintah

Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersiap memberlakukan PPnBM-DTP pada 1 Maret mendatang dengan harapan menjadi pendongkrak industri otomotif nasional.

Disebutkan bahwa kebijakan ini bakal menyasar kendaraan bermotor segmen ≤ 1.500 cc kategori sedan dan 4x2. Segmen tersebut dipilih karena merupakan kategori yang diminati kelompok masyarakat kelas menengah dan memiliki local purchase di atas 70 persen.

Diskon pajak dilakukan secara bertahap sampai dengan Desember 2021, dengan ketentuan 100 persen dari tarif normal akan diberikan pada tiga bulan pertama. Lalu, 50 persen dari tarif normal pada tiga bulan berikutnya, dan 25 persen dari tarif normal pada tahap ketiga untuk empat bulan.

Guna memuluskan strategi ini, pemerintah lantas menggandeng Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan untuk mendorong kredit pembelian kendaraan bermotor melalui pengaturan uang muka 0 persen dan penurunan ATMR Kredit (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan industri otomotif merupakan salah satu sektor yang terkena dampak pandemi COVID-19 paling besar.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. (Foto: Dok. Setkab)

Padahal sektor manufaktur menjadi lini produktif yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) sebesar 19,88 persen.

“Relaksasi PPnBM dapat meningkatkan purchasing power dari masyarakat dan memberikan jumpstart pada perekonomian,” ujarnya.

Airlangga menambahkan, pemerintah sendiri membidik target peningkatan produksi mencapai 81.752 unit. Estimasi terhadap penambahan output industri otomotif juga diperkirakan akan dapat menyumbangkan pemasukan negara sebesar Rp1,4 triliun.

“Kebijakan tersebut juga akan berpengaruh pada pendapatan negara yang diproyeksi terjadi surplus penerimaan sebesar Rp1,62 triliun,” katanya.

Selain itu, industri otomotif dinilai memiliki keterkaitan dengan industri lainnya. Industri otomotif juga merupakan industri padat karya dengan lebih dari 1,5 juta orang yang berkecimpung pada segmen ekonomi ini.

“Industri pendukung otomotif sendiri menyumbang lebih dari 1,5 juta orang dan kontribusi PDB sebesar Rp700 triliun," tuturnya.