JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum menyebutkan persidangan kasus pencemaran nama baik yang melibatkan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti bukan untuk membungkam suara kritis, khususnya berkaitan dengan pembelaan hak asasi manusia (HAM).
Hal itu disampaikan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dipimpin Yanuar Adi Nugroho saat mengawali pembacaan surat tuntutan terhadap terdakwa Haris Azhar atas kasus pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Cakung, pada Senin.
"Sekali lagi kami tegaskan, persidangan ini bukanlah upaya untuk membungkam suara kritis, khususnya yang berkaitan dengan pembelaan HAM dan lingkungan hidup serta pegiat anti korupsi di Papua," kata JPU dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Ketua Cokorda Gede Arthana dilansir ANTARA, Senin, 13 November.
Namun sebaliknya, kata JPU, penuntutan itu dilakukan untuk menangani perbuatan subjektif yang dilakukan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang telah mencemarkan nama baik saksi korban, Luhut B Pandjaitan.
"Setiap pihak kiranya dapat memahami dan menghormati proses hukum yang sedang berlangsung ini dan bukan merendahkannya dengan asumsi negatif," katanya.
Selama persidangan ini telah terungkap dengan jelas bagaimana isu-isu sensitif seperti HAM, lingkungan hidup dan pegiat anti korupsi di Papua telah disalahgunakan dan ditarik ke dalam narasi, bukan untuk kepentingan masyarakat melainkan untuk melindungi kepentingan pribadi mereka.
JPU juga menyoroti soal sikap penasihat hukum yang dinilai tidak sejalan dengan semangat jaksa dan hakim untuk menggali kebenaran dalam perkara tersebut.
"Sangat disayangkan sikap dan semangat penuntut umum dan majelis hakim di persidangan dengan cara mengadili secara objektif arif dan bijaksana, justru berbanding terbalik dengan sikap dan semangat PH Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dari Tim Advokasi untuk Demokrasi yang justru tidak dapat menggunakan kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya," katanya.
JPU juga menyebutkan penasihat hukum Haris dan Fatia tidak mampu dan tidak kreatif dalam menyusun strategi pembelaan.
Menurut JPU, argumen yang diajukan penasihat hukum Haris juga tidak memiliki dasar yuridis.
"Sehingga, dengan mudah sudah kami prediksi analisa dan uraikan dengan detail sejak nota tanggapan eksepsi dibuat dan dibacakan oleh penuntut umum," kata jaksa.
Hal ini, menurut jaksa, menunjukkan kelemahan siginifikan dalam pendekatan pembelaan yang mereka ajukan.
Pengunjung sidang sempat berteriak saat JPU menyampaikan pernyataan ini.
Selama proses pembuktian, kata jaksa, penasihat hukum juga telah menciptakan narasi menyesatkan dan memutarbalikkan fakta serta menyajikan analisis hukum yang tidak hanya keliru tapi juga mendiskreditkan proses hukum.
BACA JUGA:
"Selama proses persidangan berlangsung, PH dari Tim Advokasi Untuk Demokrasi telah berusaha keras menutupi niat jahat Haris Azhar dan Fatia yang sudah dijelaskan dengan lugas dalam surat dakwaan dan terkonfirmasi di tahap pembuktian," kata JPU.
Dalam kasus ini, Haris dan Fatia didakwa mencemarkan nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.
Jaksa menilai pernyataan Haris dan Fatia dalam video yang diunggah melalui akun YouTube milik Haris telah mencemarkan nama baik Luhut.
Video tersebut berjudul "Ada lord Luhut di balik relasi ekonomi-ops militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada1! >NgeHAMtam". Mereka membahas kajian cepat Koalisi Bersihkan Indonesia dengan judul "Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya" yang menunjukkan ada keterlibatan Luhut.
Haris dan Fatia didakwa Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang ITE, Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, dan Pasal 310 KUHP tentang Penghinaan. Setiap pasal tersebut juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.