Bagikan:

JAKARTA - Majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta telah menjatuhkan vonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider enam bulan kurungan kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Vonis itu lebih berat dibanding tuntutan jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung yang meminta agar perempuan jaksa itu divonis selama enam tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. 

Mantan kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung itu dianggap terbukti melakukan tiga perbuatan yaitu menerima suap sebesar 500.000 dolar AS dari Djoko Tjandra, melakukan pencucian uang, dan melakukan permufakatan jahat terkait perkara Djoko Tjandra, buron nomor wahid yang dicari-cari selama lebih dari 10 tahun. 

Dalam dakwaan pertama, Pinangki dinilai terbukti menerima suap sebesar 500.000 dolar AS dari terpidana kasus "cessie" Bank Bali Djoko Tjandra.

Uang itu diberikan dengan tujuan agar terpidana kasus "cessie" Bank Bali yang sudah buron selama 11 tahun Djoko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa harus dieksekusi pidana dua tahun penjara berdasarkan putusan Peninjauan Kembali Nomor 12 tertanggal 11 Juni 2009.

Teka-teki

Meski keputusan hakim telah bulat terhadap Pinangki, setidaknya ada dua teka-teki yang belum terbongkar dalam persidangan.

Teka-teki pertama adalah belum terungkapknya sosok king maker yang dimintai Pinangki agar Djoko Tjandra tidak perlu dipenjara selama dua tahun. Padahal king maker itu diperbincangkan Pinangki dan Kolopaking.

Dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim menyatakan sosok king maker ditemukan dalam komunikasi obrolan di aplikasi WhatsApp antara nomor Pinangki dengan Kolopaking pada dan juga tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaa nama saksi Rahmat, yang mempertemukan Pinangki dengan Djoko Tjandra untuk pertama kalinya.

"Majelis berupaya menggali siapa sosok king maker itu dengan menanyakan kepada Pinangki, Kolopaking, Rahmat, dan Djoko Tjandra pada 19 November 2019, di The Exchange Kuala Lumpur, tapi mereka tetap tidak mau menjelaskannya," kata Purwanto beberapa waktu lalu.

Dalam percakapan itu, Pinangki memberikan penjelasan kepada Djoko Tjandra mengenai langkah-langkah untuk masuk kembali ke Indonesia yaitu: "Bapak ditahan dulu sementara nanti kita urusi PK-nya nanti saya laporkan ke "king maker”. "King maker" disebut di situ secara anonim. 

Namun sayangnya Pinangki tidak menjelaskan siapa sosok king maker Yang dapat memuluskan keinginan Djoko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman pidana.

Majelis hakim menyebut sudah berupa menggali siapa king maker dengan menanyakan kepada Pinangki dan Anita karena keduanya memperbincangkan king maker, tapi baik Pinangki, Kolopaking, Rahmat, maupun Djoko Tjandra, tidak ada yang mengungkapkan hal itu.

Teka-teki kedua adalah Pinangki dan Anita Kolopaking diketahui pernah mendiskusikan perkara hukum lain yang ditangani Mahkamah Agung.

Perkara itu adalah pengurusan grasi untuk mantan Gubernur Riau, Annas Maamun, sebagai terpidana perkara suap alih fungsi hutan.

"Berdasarkan barang bukti digital pada 26 November 2019 pukul 6.13 - 7.50 PM ditemukan percakapn terdakwa dengan saksi Anita Kolopaking terkait grasi Annas Maamun," kata Purwanto.

Percakapan itu, menurut dia, membuktikan selain terkait Djoko Tjandra, Pinangki biasa mengurus perkara dengan Kolopaking; khususnya terkait dengan Kejaksaan Agung.

Maamun diketahui sudah bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung pada 21 September 2020 karena mendapat grasi dari Presiden Jokowi melalui Keputusan Presiden Nomor 23/G pada 26 Oktober 2019 sehingga hukuman bagi Maamun berkurang satu tahun menjadi enam tahun penjara dari tadinya hukuman tujuh tahun penjara berdasarkan putusan kasasi MA.

Tanggapan Pinangki

Seusai persidangan pada Senin, 8 Februari, Pinangki dan tim kuasa hukumnya langsung meninggalkan ruang sidang melalui pintu samping tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Salah satu tim kuasa hukum Pinangki, Kresna Hutauruk, mengatakan, Pinangki dan tim masih menggunakan waktu pikir-pikir selama tujuh hari apakah akan menerima putusan atau mengajukan upaya hukum banding.

Sedangkan salah satu tim JPU Kejaksaan Agung, KMS Roni, juga tidak berkomentar banyak mengenai putusan hakim yang jauh lebih tinggi dari tuntutan.

"Alhamdulillah, semoga memenuhi rasa keadilan masyarakat," kata dia.