Buat Kebutuhan Hidup dan Sekolah Anak, Tenaga Ahli Hudev UI Minta Hakim Buka Rekening yang Diblokir
Tenaga ahli Human Development (Hudev) Universitas Indonesia (UI) Yohan Suryanto berjalan keluar ruang sidang usai membacakan nota pembelaan (pleidoi)/dok antara

Bagikan:

JAKARTA - Tenaga ahli Human Development (Hudev) Universitas Indonesia (UI) Yohan Suryanto meminta majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk membuka sejumlah rekening miliknya. Rekening ini diblokir sejak Yohan ditahan dalam perkara dugaan korupsi BTS 4G.

“Saya juga memohon agar rekening saya atau perusahaan kami yang diblokir sejak tanggal 20 Januari 2023,” kata Yohan membacakan nota pembelaan (pleidoi) pribadinya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Antara, Kamis, 2 November.

Rekening yang diblokir tersebut adalah dua rekening atas nama Yohan Suryanto, dua rekening atas nama PT Rambinet Digital Network, dan satu rekening atas nama Sasqia Gessangie cq Yohan Suryanto.

“Mohon dengan sangat, dengan alasan kemanusiaan, agar bisa dibuka. Meskipun saldo rekening tersebut tidak banyak, besar harapan kami agar rekening tersebut bisa dibuka untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan sekolah anak-anak,” katanya sambil menahan tangis.

Dia meminta rekening tersebut dibuka karena berdalih isi rekening didapatkan secara sah sebagai upah konsultan dari Hudev UI. Yohan membantah adanya aliran uang sejumlah Rp453.000.000 dalam rekening tersebut.

Lebih lanjut, Yohan mengaku tidak ada niat kongkalikong atau memanipulasi kajian teknis perencanaan pembangunan BTS 4G. Di antaranya, dia mengatakan bahwa keterlibatannya dalam request for information (RFI) atau survei ke industri telekomunikasi hanya sesuai dengan undangan dari BAKTI Kominfo.

“Persiapan dan pelaksanaan RFI sepenuhnya dilakukan oleh PMU (project management unit) BAKTI. Selain itu, penyusunan owner estimate (OE) dalam kajian juga sudah mengikuti kaidah kajian dan penetapan HPS (harga perkiraan sendiri) merupakan wewenang PPK (pejabat pembuat komitmen),” imbuhnya.

Dia pun membantah pernah bertemu dengan vendor secara tidak sah untuk mengatur pemenang tender maupun untuk menentukan harga pesanan vendor dalam proyek tersebut. Ia kembali menyebut perkiraan harga telah dilakukan sesuai kaidah kajian.

“Bertemu dengan para terdakwa saja tidak pernah, bagaimana bisa bertemu bersama mereka dengan vendor,” ujarnya membela diri.

Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung RI menuntut Yohan dengan pidana penjara selama enam tahun, denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan, dan membayar uang pengganti sebesar Rp399 juta subsider tiga tahun penjara.

Jaksa menilai Yohan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.