Bagikan:

JAKARTA - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie membeberkan masalah dugaan pelanggaran etik yang dilakukan hakim konstitusi terkait penanganan perkara batas minimal usia capres-cawapres sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Masalah-masalah ini terungkap seusai MKMK melakukan pemeriksaan terhadap lima pelapor dan tiga hakim konstitusi, yakni Anwar Usman, Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih.

"Intinya, banyak sekali masalah yang kami temukan, jadi dari tiga hakim ini saja muntahan masalahnya ternyata banyak sekali," ujar Jimly di Gedung II MK, Jakarta, Selasa malam.

Jimly kemudian membeberkan masalahnya. Pertama, hubungan kekerabatan antara hakim dengan pihak yang diuntungkan dari putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Pelapor, kata Jimly, meminta hakim yang memiliki hubungan kekerabatan wajib mundur dari perkara yang sedang ditangani.

"Kedua, soal berbicara, hakim berbicara di depan publik mengenai isu yang sedang ditangani atau mengenai hal-hal yang diduga berkaitan dengan substansi perkara, padahal patut diduga ini ada kaitan paling tidak dalam persepsi publik," tutur Jimly.

Ketiga, kata Jimly, hakim MK yang mengumbar kemarahan di depan publik atau putusan yang dibuat MK. Padahal, kata Jimly, menurut pelapor hal tersebut merupakan masalah internal hakim MK.

"Lalu ada hakim yang menulis dissenting opinion tetapi bukan substansi ide yang dituliskan, melainkan ekspresi kemarahan. Ini kan jadi masalah juga," bebernya.

Kelima, lanjut Jimly, prosedur registrasi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang loncat-loncat. Pasalnya, perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 sempat mengalami perubahan, kemudian ditarik kembali dan akhirnya dimasukkan lagi ke MK. Hal tersebut, kata Jimly, memang teknis, tetapi berkaitan dengan motif, etika, motif kepemimpinan, dan motif good governance.

"Ada lagi yang mempersoalkan kok MKMK ini lambat sekali dibentuk," pungkas Jimly.