JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman menegaskan bahwa tidak ada lobi-melobi dalam memeriksa dan memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
“Enggak ada, lobi-lobi gimana? Sudah baca putusannya belum?,” kata Anwar Usman kepada wartawan dilansir ANTARA, Selasa, 31 Oktober.
Dia mengatakan bila ada proses lobi-melobi, maka hasil putusan perkara yang diajukan oleh warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A. tersebut tidak akan seperti itu.
“Bah! Ya, kalau begitu, putusannya masa begitu,” ucap Anwar.
Sementara itu, terkait dirinya yang tidak mengundurkan diri ketika memeriksa perkara tersebut; sehingga dikaitkan dengan konflik kepentingan dengan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming yang merupakan ponakannya, Anwar mengatakan jabatan telah diatur oleh Tuhan.
“Yang menentukan jabatan milik Allah Yang Maha Kuasa,” ucapnya
Sebelumnya, kuasa hukum salah satu pelapor, Violla Reininda mengatakan bahwa Anwar Usman telah melakukan lobi kepada delapan hakim konstitusi lainnya.
“Keterlibatan di sini dalam arti yang bersangkutan tidak mengundurkan diri untuk memeriksa dan memutus perkara dan juga terlibat aktif untuk melakukan lobi dan memuluskan lancarnya perkara ini agar dikabulkan oleh hakim yang lain," kata Violla dalam sidang terbuka di hadapan MKMK di Gedung II MK, Jakarta, Selasa pagi.
BACA JUGA:
Violla merupakan perwakilan kuasa hukum dari Constitutional and Administrative Law Society (CALS), yakni kumpulan guru besar dan pengajar hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang melaporkan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi dalam perkara nomor 90 itu.
Senin (16/10), MK mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A. dari Surakarta, Jawa Tengah.
Dalam gugatannya, Almas memohon syarat pencalonan peserta pilpres berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Putusan itu menjadi kontroversi karena dinilai sarat konflik kepentingan. Laporan masyarakat yang menduga adanya pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara itu kemudian bermunculan.