JAKARTA – Keputusan Koalisi Indonesia Maju yang mengusung Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden di Pilpres 2024 menunjukkan sistem kepartaian di Indonesia gagal dalam melakukan regenerasi pemimpin politik.
Pengamat Politik Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riewanto mengungkapkan, fenomena “pencomotan” Gibran menunjukkan bahwa parpol tidak percaya diri sehingga memutuskan mengambil kader partai lain.
“Meskipun parpol-parpol itu memiliki kader yang bagus tetapi seolah tidak dipercaya. Itu berarti sistem kepartaian kita gagal dalam rangka menghasilkan kaderisasi pemimpin politik. Padahal UU Parpol menjelaskan salah satu fungsi parpol itu organisasi dan kaderisasi. Di situ kegagalannya,” ujar Agus, Minggu, 29 Oktober.
BACA JUGA:
Dia mencontohkan, dari sisi etis, diusungnya Gibran oleh KIM menunjukkan jika koalisi pimpinan Prabowo Subianto itu kurang beretika karena mengambil Gibran yang merupakan kader PDIP. Apalagi jika pertimbangan utamanya hanya karena faktor elektoral.
Agus mengakui, masing-masing orang memiliki ukuran etika sendiri sehingga etika itu sangat subjektif sifatnya. Tapi secara umum, publik mengatakan apa yang dilakukan Gibran itu tidak beretika, bahwa dari parpol berbeda dicalonkan oleh parpol lain.
“Etika itu soal pantas dan tidak pantas, bersifat pribadi, ukurannya tidak ada, dan bukan hukum. Kalau Gibran merasa apa yang dilakukan itu beretika, ya silakan tetapi publik juga punya cara sendiri mengukur etika politik itu,” terangnya.
Dia menilai, dalam pilpres atau pemilihan kepala daerah sebenarnya ukurannya adalah ketokohan seseorang. Menurut Agus, kalau etika itu dianggap sebagai ukuran ketokohan, mungkin saja tokoh yang tidak beretika tidak sesuai dengan keinginan publik, dan peluangnya bisa terpilih dan tidak terpilih tetapi publik memiliki mindset yang disebut silent majority.
“Publik itu diam tetapi diamnya mereka mesti diwaspadai. Mungkin tidak ada ruang untuk bicara. Yang punya ruang ada media sosial tetapi yang tidak punya ruang lebih banyak, termasuk apatis. Tidak terpilih itu bisa karena pemilih datang ke TPS tetapi tidak menggunakan hak suaranya atau golput atau memang tidak memilih secara langsung. Dugaan saya, golput ke depan lebih tinggi,” tutup Agus.