JAKARTA - Juru Bicara Partai Gerindra Bidang HAM dan Konstitusi Munafrizal Manan mengatakan, tidak ada dasar hukum yang jelas terkait wacana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman jadi kepala daerah dibatalkan.
Munafrizal mengatakan, MK merupakan lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Sebab itu, kata dia, tidak ada upaya hukum yang bisa menilai putusan MK tersebut tidak sah, kemudian membatalkannya.
"Wacana tentang putusan MK tidak sah, kemudian dapat dibatalkan tidak punya dasar hukum kuat," kata Munafrizal dalam keterangan resmi diterima di Jakarta, Jumat 27 Oktober, disitat Antara.
Pasal 17 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan hakim mengundurkan diri apabila mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, menurut dia, sulit dijadikan dasar hukum untuk membatalkan putusan MK.
Hal tersebut, lanjut dia, karena ada benturan norma hukum antara ketentuan hukum yang lebih tinggi dan yang lebih rendah.
Ia menegaskan bahwa dasar hukum putusan MK bersifat final adalah UUD NRI Tahun 1945 yang secara hierarki lebih tinggi daripada UU Kekuasaan Kehakiman.
"Tidak dapat dan tidak boleh hukum lebih rendah menganulir hukum lebih tinggi," tuturnya.
Selain itu, kata dia, tidak ada ketentuan yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme pemeriksaan ulang perkara yang telah diputus dan membatalkan putusan MK.
"Ketentuan Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman in concreto hanya dapat dilaksanakan untuk lembaga-lembaga peradilan di lingkungan Mahkamah Agung yang sifat putusannya tidak serta-merta final karena ada hierarki kelembagaan bertingkat (pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali)," paparnya.
Ia mengatakan, tidak ada ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, UU Mahkamah Konstitusi, ataupun Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang di MK yang mengatur prosedur dan mekanisme pemeriksaan ulang dan putusan ulang atas perkara yang sudah diputus.
Oleh karena itu, dia menilai perdebatan yang muncul di kalangan masyarakat tentang putusan MK tersebut menunjukkan perlunya pembenahan internal MK, yakni dengan menyempurnakan hukum acara dan tata kelola penanganan perkara yang lebih jelas dan tegas.
"Agar hal seperti itu tidak terjadi lagi dan bilamana terjadi lagi, sudah tersedia ketentuan solutif untuk menyelesaikannya," imbuhnya.
Menurut dia, MK juga perlu membuat pedoman baku tentang penerapan judicial activism (aktivisme yudisial) dan judicial restraint (pembatasan yudisial) sebagai rambu bagi para hakim konstitusi untuk menjaga konsistensi seluruh putusan MK dan kepastian konstitusional.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan mahasiswa yang merupakan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A. pada Senin 16 Oktober.
Dalam gugatannya, Almas memohon syarat pencalonan peserta pilpres berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Putusan itu menjadi kontroversi karena dinilai sarat konflik kepentingan. Laporan masyarakat yang menduga adanya pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara itu kemudian bermunculan.
Atas dasar itu, dibentuklah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang telah memulai rapat klarifikasi pada hari Kamis 26 Oktober.
BACA JUGA:
Menurutnya, pro dan kontra atas suatu putusan perkara yang diputus oleh lembaga peradilan adalah hal biasa karena ada pihak yang merasa puas dan tidak puas.
Dalam konteks putusan MK, dia mengakui bahwa sifat asli kewenangan MK, termasuk wewenang pengujian undang-undang, berkaitan erat dengan dimensi politik.
"Penilaian orang atas putusan MK akan dipengaruhi oleh kecenderungan persepsi, preferensi, dan kepentingan politik orang yang menilainya," ujarnya.
Namun begitu, Munafrizal meyakini hakim konstitusi memiliki independensi dalam memutus setiap perkara.
Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa laporan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi harus berdasar pada bukti kuat.
"Laporan dugaan pelanggaran etik terhadap para hakim konstitusi tentu harus didasarkan pada bukti yang kuat, dan diharapkan putusan MKMK nanti tidak menimbulkan kegaduhan baru," tandasnya.