Bagikan:

JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan kepala daerah belum berusia 40 tahun untuk maju sebagai capres-cawapres kini tengah berpolemik. Putusan MK tersebut dinilai bisa digunakan pihak tertentu untuk kepentingan elektoral.

"Sangat mungkin ada pihak mencoba menarik ini ke ranah politik untuk kepentingan politik elektoral jangka pendek," kata pengamat politik, Bawono Kumoro kepada wartawan, Minggu, 5 November.

Bawono memandang, putusan MK tentang batasan usia capres-cawapres yang mengakibatkan para hakim MK dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik tersebut berpotensi mendegradasi pasangan Prabowo Gibran.

"Isu putusan Mahkamah Konstitusi mengenai batas usia capres dan cawapres saat ini tampak menjadi semacam alat untuk mendegradasi pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka," tutur dia.

Bawono tak memungkiri jika isu tersebut berkembang di masyarakat, maka akan mengganggu stabilitas politik, mengingat selama ini MK merupakan lembaga yang menjamin hak konstitusi setiap rakyat yang putusannya bersifat final dan mengikat.

Beberapa waktu lalu, Juru Bicara Partai Gerindra Bidang HAM dan Konstitusi Munafrizal Manan mengatakan, tidak ada dasar hukum yang jelas terkait wacana putusan MK soal batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman jadi kepala daerah dibatalkan.

Munafrizal mengatakan, MK merupakan lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Sebab itu, kata dia, tidak ada upaya hukum yang bisa menilai putusan MK tersebut tidak sah, kemudian membatalkannya.

"Wacana tentang putusan MK tidak sah, kemudian dapat dibatalkan tidak punya dasar hukum kuat," kata Munafrizal dalam keterangan resmi diterima di Jakarta, Jumat 27 Oktober, disitat Antara.

Pasal 17 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan hakim mengundurkan diri apabila mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, menurut dia, sulit dijadikan dasar hukum untuk membatalkan putusan MK.

Hal tersebut, lanjut dia, karena ada benturan norma hukum antara ketentuan hukum yang lebih tinggi dan yang lebih rendah.

Ia menegaskan bahwa dasar hukum putusan MK bersifat final adalah UUD NRI Tahun 1945 yang secara hierarki lebih tinggi daripada UU Kekuasaan Kehakiman.

"Tidak dapat dan tidak boleh hukum lebih rendah menganulir hukum lebih tinggi," tuturnya.

Selain itu, kata dia, tidak ada ketentuan yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme pemeriksaan ulang perkara yang telah diputus dan membatalkan putusan MK.

"Ketentuan Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman in concreto hanya dapat dilaksanakan untuk lembaga-lembaga peradilan di lingkungan Mahkamah Agung yang sifat putusannya tidak serta-merta final karena ada hierarki kelembagaan bertingkat (pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali)," paparnya.