Bagikan:

JAKARTA - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto menyebut ada alasan lain mundurnya calon wakil presiden (cawapres) nomor urut tiga, Mahfud MD dari Menko Polhukam.

Satu di antaranya mengenai penanganan persoalan hukum Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej.

"Tentu saja ada suatu latar belakang lain yaitu terkait dengan persoalan hukum," ujar Hasto kepada wartawan di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Senin, 5 Februari.

Menurutnya, saat masih menjabat sebagai Menko Polhukam, Mahfud telah menyoroti kasus dugaan suap dan gratifikasi tersebut. Bahkan, dinilai banyak fakta hukum yang menunjukan Eddy Hiariej melanggar pidana.

Hanya saja, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani kasus itu tak kunjung melakukan penahanan meski eks Wamenkumham itu telah berstatus tersangka.

"Prof Mahfud melihat ketika dengan fakta-fakta yang menurut beliau itu memenuhi kaidan-kaidah, bukti materiil terhadap persoalan mantan Wamenkumham, Prof Eddy," sebutnya.

Hal itu, lanjut Hasto, dikarenakan adanya intervensi dari penguasa. Diduga, Eddy terlibat lobi-lobi dalam skandal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Di mana, pada putusan tersebut, putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka lolos sebagai cawapres pada kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

"Ternyata kemudian muncul intervensi dan diduga itu terkait juga dengan lobi-lobi yang terjadi di Mahkamah Konstitusi," ungkap Hasto.

Hasto juga menegaskan mundurnya Mahfud dari kursi Menko Polhukam tak terkait dengan upaya mendongkrak elektoral. Semata, untuk menjaga etika dan tak terlibat konflik kepentingan.

"Keputusan dari Prof Mahfud MD bukan atas dasar kalkulasi elektoral, tetapi sebagai ceriminan prinsip yang sangat fundamental dalam politik untuk memberikan keladanan, tidak mencampuradukkan antara kekuasaan dan elektoral," kata Hasto.