JAKARTA – Independensi Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan menangani sengketa Pemilu 2024 mendapat sorotan usai mengabulkan permohonan uji materi UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.
Profesor dan pakar politik, Ikrar Nusa Bakti mengungkapkan, MK merupakan mahkamah tertinggi yang memutus apakah sebuah UU bertentangan dengan konstitusi atau tidak, dan juga juga mengadili kasus-kasus yang terjadi dalam sengketa pemilu presiden, pemilu legislatif, DPD, dan kepala daerah.
“Jika dalam penentuan (keputusan MK) siapa menjadi capres/cawapres banyak dipertanyakan orang, bagaimana MK bisa dipercaya dalam memutuskan sebuah kasus pemilu yang akan datang,” ujarnya, Sabtu 21 Oktober.
Apalagi, banyak para pakar hukum yang mempertanyakan putusan MK terkait dengan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Ikrar menyebut, dalam gugatan yang sama tapi diajukan parpol dan kepala daerah ditolak oleh MK.
Tapi, mahkamah justru mengabulkan gugatan yang diajukan oleh mahasiswa.
“Kenapa gugatan (soal yang sama) ditolak, kenapa yang itu (gugatan umur capres/cawapres yang baru-baru ini diputus MK) diterima? Kalau standingnya mahasiswa, memang dia mau menjadi wapres? Tidak masuk akal,” ujar dia.
BACA JUGA:
Menurut dia, tidak salah jika Putusan MK mengabulkan tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden itu terkait adanya kepentingan politik yang menginginkan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai kandidat Pemilu Presiden 2024. Sebab, Gibran yang merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhalang usia minimal 40 tahun.
Namun, MK telah memutuskan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden tetap 40 tahun, kecuali berpengalaman menjadi kepala daerah. Terlebih, lanjut Ikrar, Ketua MK Anwar Usman merupakan paman dari Gibran.
“Saldi Isra bahkan mengatakan mengapa harus terburu-buru memutuskan gugatan soal umur capres. Memang sudah sepenting itu? Makanya, diduga adanya penyalahgunaan kekuasaan MK untuk memutuskan perkara umur ini,” katanya.
Dia menilai, demokrasi di Indonesia sebenarnya sudah menuju ke arah kematangan dan bisa mencapai puncak pada pemilu kesembilan sejak reformasi. Sedangkan, Pemilu 2024 merupakan pemilu keenam sejak reformasi. Artinya, masih ada tiga pemilu lagi yang akan membuat pemilu di Indonesia benar-benar membuat demokrasi yang substansial yang matang.
Tapi bila pada pemilu keenam ini ada pemaksaan anak presiden menjadi cawapres, maka demokrasi akan mundur jauh ke sebelum masa reformasi. Namun demikian, Ikrar menegaskan hal ini bukan berarti menentang sikap Presiden Joko Widodo.
Namun, tokoh-tokoh demokrasi ingin menyadarkan bahwa menjadikan Gibran sebagai calon wakil presiden bukan hal sederhana apalagi ayahnya masih menjabat sebagai Kepala Negara.
“Bayangkan, jika anakmu bertanding untuk jabatan tertentu dan kamu menjadi juri utamanya. Bagaimana bisa berlangsung netral. Jika Gibran maju, maka lapangan berkompetisi itu tidak setara. Kita bukan mau menentang Jokowi, tetapi kita ingin menyadarkan. Mudah-mudahan Pak Jokowi sadar,” kata Ikrar Nusa Bakti.