JAKARTA - Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Nomor 2 tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan. Dalam surat itu, terdapat satu aturan yang dianggap membatasi kerja jurnalistik dalam meliput proses persidangan.
Adapun aturan yang dimaksud adalah soal dilarangnya pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV saat sidang berlangsung. Hal ini tak sepenuhnya dilarang, jika media dan pewarta telah mengantongi izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.
Pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar menilai penerbitan aturan tersebut akan bertentangan dengan proses persidangan yang terbuka untuk umum. Sebab secara khusus pengecualian aturan tersebut hanya akan berlaku untuk sidang perkara kesusilaan dan pengadilan dengan terdakwa anak-anak.
Kewenangan itupun diserahkan kepada Ketua Majelis Hakim dalam mengadili perkara sidang. Berdasarkan Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Artinya ketua ini bertanggung jawab atas ketertiban jalannya persidangan. Inilah salah satu wujud dari independency judiciary, kebebasan kekuasaan kehakiman yang pada waktu menangani perkara sepenuhnya merupakan kewenangan dari majelis hakim," kata Fickar kepada VOI lewat pesan singkat, Kamis, 27 Februari.
Hanya saja, selama ini, tafsir keterbukaan itu seringkali melenceng dari maksud pasal tersebut. Di antaranya soal adanya persidangan disiarkan secara langsung. Di tahun 2016 lalu, sidang kasus kematian Wayan Mirna Salihin -jika kita ingat soal kasus kopi sianida- ditayangkan secara langsung dan terus menerus oleh sejumlah stasiun televisi.
Ketika itu, stasiun televisi di Indonesia berlomba-lomba memberitakan kasus kriminal dengan terdakwa Jessica Wongso yang kemudian divonis 20 tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hampir seluruh stasiun televisi berbasis berita seperti Metro TV, Kompas TV, iNews, dan tvOne terus menerus melakukan siaran langsung di persidangan untuk menarik rating penonton.
BACA JUGA:
Mungkin baru kali itu ada kasus kriminal yang proses persidangannya ditayangkan secara langsung oleh media elektronik. Bahkan, persidangan bak drama sinetron ini bisa disaksikan secara langsung oleh penonton layar kaca tiga kali dalam seminggu dan sekali tayang biasanya berdurasi hingga belasan jam.
Kembali ke penjelasan Fickar, menurut dia, penyiaran secara langsung dari ruang sidang seperti sidang Jessica Wongso ini ternyata memang melanggar sebuah ketentuan dalam hukum acara pidana. Alasannya, seorang saksi yang belum didengar keterangannya memang tidak boleh berada di dalam ruang sidang atau mendengar saksi yang sedang memberikan keterangan.
"Tujuan dari larangan ini agar saksi yang belum didengar keterangannya, tidak terpengaruh oleh keterangan saksi yang sedang diperiksa," jelas dia.
Sehingga, jika berkaca dari ketentuan tersebut, Fickar mengatakan, jelas menyalahi aturan jika siaran langsung stasiun televisi ataupun media daring tetap dilakukan di dalam proses persidangan yang sedang berlangsung.
Namun, untuk perekaman gambar atau audio, serta pengambilan foto yang disiarkan setelah persidangan, dia menilai selama tak mengganggu jalannya persidangan dan sudah diizinkan Majelis Hakim, maka sebenarnya tak ada masalah jika hal itu dilakukan. Apalagi, jika tujuan akhirnya adalah transparansi peradilan.
"Saya kira sepanjang pengambilan gambar tidak mengganggu ketertiban sidang dan tidak menyebabkan saksi yang belum didengar mendengar keterangan saksi yang sedang diperiksa, maka pengambilan gambar itu sah saja dan tidak ada dasar untuk melarang atau tidak mengizinkannya sebagai bagian dari prinsip transparansi," ujarnya.
PRESIDEN JOKOWI: TERIMA KASIH MAHKAMAH AGUNG YANG TELAH MELAKUKAN REFORMASI BESAR-BESARAN TERHADAP DUNIA PERADILAN INDONESIA
Untuk berita selengkapnya silahkan klik https://t.co/iaAIwY9OFm atau kunjungi https://t.co/dPhd7W1ACX untuk melihat berita lainnya. pic.twitter.com/LNW8lMLsRB
— Humas Mahkamah Agung (@Humas_MA) February 26, 2020
Memperparah Mafia Peradilan
Larangan memfoto, merekam suara, dan pengambilan gambar TV selama persidangan tanpa seizin Ketua Pengadilan menuai kritikan. Menanggapi aturan tersebut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai larangan tersebut akan memperparah kondisi peradilan di Indonesia yang akan semakin tertutup.
"YLBHI berpendapat bahwa larangan memfoto, merekam, dan meliput persidangan tanpa izin Ketua Pengadilan akan memperparah mafia peradilan yang selama ini dalam banyak laporan sangat banyak ditemukan," ujar Ketua Umum YLBHI, Asfinawati, dalam keterangannya,
Asfinawati menilai, klausul izin Ketua Pengadilan untuk bisa memfoto dan merekam sidang akan sulit didapat. Sebab Ketua Pengadilan akan mudah menolak permohonan izin dengan berbagai alasan dan kepentingan tertentu.
"Selain itu, memfoto, merekam, dan meliput persidangan tanpa izin adalah ranah hukum administrasi yang dihubungkan dengan sesuatu perbuatan yang dilarang," imbuhnya.
YLBHI mencatat, selama ini keterbukaan sidang melalui pengambilan gambar dan rekaman sidang memiliki setidak-tidaknya beberapa manfaat. Salah satu poinnya rekaman persidangan baik audio maupun video dapat berguna untuk pengawasan hakim dan para pihak yang terlibat.
"Setidaknya hakim dan para pihak akan berpikir dua kali apabila mereka hendak bertindak tidak patut atau melanggar hukum acara karena akan ada bukti dari rekaman audio dan video tersebut," tambahnya.