Bagikan:

JAKARTA - Surat terbuka yang dikirim Dirut PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah diterima pihak Istana. Pengiriman itu dilakukan tersangka dugaan korupsi pengadaan liquified natural gas (LNG) itu pada Senin, 25 September.

Kepastian ini disampaikan kuasa hukum Karen, Luhut M. P. Pangaribuan. Awalnya dia membenarkan surat terbuka yang beredar atas nama kliennya.

“Ya betul sekali (ada surat yang dikirimkan ke Presiden Jokowi, red) dan sudah diterima melalui Sekneg (Sekretaris Negara),” kata Luhut saat dikonfirmasi VOI, Minggu, 30 September.

Luhut mengatakan kliennya mengirim surat ke Presiden Jokowi karena penetapan tersangka yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dirasa mengejutkan. Sebab, PT Pertamina saat itu malah untung dengan adanya pengadaan itu.

Selain itu, kubu Karen menyebut proses yang berjalan merupakan perintah jabatan. Sehingga, dia kaget saat diumumkan sebagai tersangka oleh Ketua KPK Firli Bahuri.

“Mengapa jadi perkara korupsi? KA tidak menerima apapun kecuali menjalankan tugasnya sebagai direktur utama bersama direktur lain secara kolektif kolegial. Jadi ini juga aksi korporasi,” tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, Karen menyampaikan surat terbuka ke Presiden Jokowi. Ia mengaku kecewa dengan sistem penegakan hukum di tanah air dan merasa jadi korban.

"Surat terbuka ini saya tulis karena keprihatinan terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia," demikian tulis Karen dalam surat terbuka itu.

"Terdapat pasal-pasal karet yang bersifat multi interpretasi sehingga penegakan hukum disalahartikan yang mengakibatkan kerugian bisnis di BUMN dapat dijadikan dasar oleh Aparat Penegak Hukum (APH) sebagai tindak pidana korupsi (tipikor). Saya adalah salah satu korbannya," sambungnya.

Dalam kasus ini, KPK menduga proses pengadaan LNG sebagai sebagai alternatif mengatasi kekurangan gas di Tanah Air tak dikaji. Karen Agustiawan yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Pertamina juga tak melaporkan keputusannya ke dewan komisaris.

“GKK alias KA secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian dengan perusahaan CCL (Corpus Christi Liquefaction) LLC Amerika Serikat tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero,” kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 19 September.

Firli mengungkap pelaporan harusnya dilakukan karena akan dibawa dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). “Sehingga tindakan GKK alias KA tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu,” tegasnya.

Karena perbuatannya, Karen membuat negara merugi sekitar 140 juta dolar Amerika Serikat atau Rp2,1 triliun. Penyebabnya, kargo LNG yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat menjadi tidak terserap di pasar domestik.

Akibatnya kargo over supply, PT Pertamina akhirnya membuat penjualan di pasar internasional dengan kondisi rugi. Padahal, komoditas ini juga tak pernah masuk ke Indonesia dan digunakan seperti tujuan awalnya.