Tingkat Kepercayaan Publik Terhadap KPK Merosot Drastis Setelah Dipimpin Firli
Gedung KPK (Syamsul Ma'arif/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Lembaga Survei Indo Barometer merilis hasil survei mereka yang menyatakan tingkat kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menurun. Meski tetap tinggi berada di angka 81,8 persen namun lembaga yang dipimpin Firli Bahuri cs ini keluar dari peringkat tiga besar, tak seperti biasanya.

"Biasanya KPK selalu masuk tiga besar bersama TNI dan Presiden RI," kata Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari saat memaparkan hasil surveinya beberapa waktu lalu.

Adapun survei yang dilaksanakan pada 9 Januari hingga 15 Januari 2020 ini melibatkan 1.200 responden yang berasal dari 34 provinsi. Sementara margin of error survei ini berkisar 2,83 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Sementara di posisi tiga besar hasil survei tersebut, menyebutkan jika TNI dipercayai masyarakat hingga 94 persen, Presiden RI dipercaya publik 89,7 persen dan organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah dipercayai publik hingga 86,8 persen.

Padahal, di era Agus Rahardjo atau di tahun 2017, Indo Barometer juga pernah mengadakan survei yang serupa. Hasilnya, KPK berada di posisi tiga besar dengan angka kepercayaan publik sebesar 83 persen.

Menanggapi turunnya keluarnya KPK dari urutan tiga besar lembaga yang dipercayai publik, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai hasil survei ini seakan menggambarkan kondisi pemberantasan korupsi yang makin menurun dan membuat publik jadi kehilangan kepercayaannya terhadap lembaga ini.

Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menurunnya kepercayaan publik itu terjadi karena dua hal. Pertama, adalah Panitia Seleksi Capim KPK malah menetapkan calon yang sarat akan kontroversi. Selama proses seleksi berlangsung, Kurnia mengatakan panitia ini kerap mengabaikan aspek rekam jejak dan integritas calon.

"Hasilnya, lima Pimpinan KPK yang terpilih memiliki banyak catatan, mulai dari diduga melanggar kode etik maupun rendahnya kepatuhan dalam pelaporan LHKPN. Belum lagi keterkaitan Pimpinan KPK dengan kasus korupsi yang saat itu tengah disidik KPK," kata Kurnia kepada VOI lewat keterangan tertulisnya, Selasa, 25 Februari.

Selain itu, Kurnia juga menyinggung soal revisi Undang-Undang KPK yang kini sudah disahkan menjadi UU 19 Tahun 2019. Menurut dia, segala proses yang dilakukan dalam penyusunan revisi ini dirasa janggal.

Dalam catatannya, ICW juga menilai ada beberapa poin revisi yang mengesankan niat untuk melemahkan lembaga antirasuah tersebut, seperti menggeser makna independensi KPK, pembentukan instrumen pengawasan yang keliru, kewenangan berlebih dari dewan pengawas, penghentian penyidikan kasus sampai pada alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.

Akibatnya, baru beberapa minggu dilantik, KPK era Firli Bahuri cs langsung merasakan dampak buruk dari revisi undang-undang tersebut dan publik bisa melihat itu. Dampak buruk yang dimaksudnya ini, kata dia, begitu tampak ketika lembaga antirasuah ini mengusut kasus suap terhadap eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Ketua KPK Firli Bahuri jadi chef nasi goreng (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Sebab, dalam kasus ini pimpinan KPK gagal menjelaskan persoalan terkait rencana penyegelan kantor PDIP yang batal, pimpinan KPK gagal melindungi timnya yang sedang mencari Harun Masiku di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), pimpinan KPK bertindak semena-mena terhadap penyidik mereka, yaitu Kompol Rosa dan terakhir, Firli sebagai Ketua KPK malah memainkan politik gimmick seperti saat menjadi koki nasi goreng.

Menurunnya kepercayaan publik terhadap KPK, Kurnia menilai tak bisa dilepaskan dari rendahnya komitmen anti korupsi dari Presiden dan DPR. "Sebab, baik proses pemilihan Pimpinan KPK dan pengesahan revisi UU KPK merupakan produk politik yang dihasilkan oleh Presiden bersama dengan DPR," tegasnya.

Sehingga, berkaca dari hasil survei dan catatan yang dimilikinya terhadap kinerja KPK saat ini, ICW kemudian meminta agar Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU KPK 19/2019.

"Hal ini penting dilakukan demi menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi di masa mendatang dan membangun kembali kredibilitas KPK sebagai badan antikorupsi yang selama ini disegani," ungkap Kurnia.

Dia juga menekankan, Presiden Jokowi tak perlu menunggu hasil dari uji materil di Mahkamah Konstitusi untuk mengeluarkan Perppu KPK. Sebab, mengeluarkan Perppu adalah hak presiden yang tidak terkait sama sekali dengan proses uji materi.

"Justru dengan penerbitan Perppu diyakini akan mempercepat proses pemulihan KPK dari kerusakan akibat revisi UU KPK," tutupnya.