Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 14 eks anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara sebagai tersangka dalam kasus suap yang diduga diberikan oleh mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugraha. Berkaca dari pengembangan kasus tersebut, boleh saja setelah ini pimpinan KPK berargumen KPK tetap kuat walau aturan mereka direvisi. Namun, tidak bagi Indonesia Corruption Watch (ICW).

Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramdhana mengatakan, siapapun yang menganggap lembaga antirasuah itu masih kuat setelah berlakunya UU KPK Nomor 19 Tahun 2019, artinya sedang berhalusinasi.

"Pertama mereka sedang berhalusinasi dengan mengatakan KPK baik-baik saja dengan kondisi UU KPK direvisi. Selanjutnya, kita melihat dalam case Harun Masiku terlihat kalau KPK sudah tidak garang lagi," kata Kurnia kepada VOI lewat sambungan telepon, Jumat, 31 Januari.

Tidak garangnya KPK, menurut Kurnia terbukti lewat rentetan peristiwa yang terjadi saat menghadapi kasus suap yang melibatkan komisioner KPU Wahyu Setiawan, seperti batalnya penggeledahan penyidik lembaga antirasuah di kantor DPP PDI Perjuangan.

Eks komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan (Wardany Tsa Tsia/VOI)

Penggeledahan kantor itu untuk mendalami kasus tersebut. Sebab, perkara suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024 ini, melibatkan caleg PDIP Harun Masiku, selaku pemberi suap. 

Penggeledahan kantor DPP PDIP dilakukan untuk mencari orang lain selain Harun. Tapi, hingga saat ini penggeledahan untuk mencari barang bukti urung dilakukan.

"Kedua, ketika di PTIK juga seperti itu kan. Tidak kelihatan ada sosok pimpinan KPK yang membela anak buahnya. Kan, pertanyaannya kenapa bisa dimintai tes urine? Tapi Firli enggak hadir di situ (memberikan keterangan)," ungkapnya.

Peristiwa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) adalah ketika OTT KPK itu terjadi, Harun dikabarkan bersembunyi di gedung tersebut. Namun, ketika tim penyidik menjemputnya, mereka justru sempat ditahan hingga dites urine oleh polisi. Barulah menjelang subuh, para penyidik tersebut dibebaskan dan caleg PDIP tersebut sudah tak kelihatan batang hidungnya.

"Kalau dia (Firli Bahuri) bilang KPK ini kuat, kuat dari mana? Itu juga kelihatan kemarin pas komisi III RDP dengan KPK, ditanya PTIK saja dia enggak mau jawab. Itu kan contoh pimpinan yang tidak bisa melindungi timnya sendiri. Dia buang badan dalam kasus ini (kasus suap Wahyu Setiawan)," jelas Kurnia.

Dia juga menyayangkan sikap pimpinan KPK yang malah melakukan ramah tamah dengan wartawan, meski Harun Masiku yang buron itu tak kunjung diketahui keberadaannya.

"Pimpinan KPK kali ini tidak mampu menciptakan situasi kondusif di mata publik. Kemarin misalnya, ketika heboh kasus Harun Masiku yang belum ditemukan KPK, Firli malah bikin acara masak nasi goreng," ujar Kurnia.

Padahal, pimpinan KPK di masa sebelumnya mereka selalu berhasil menjemput bahkan mencari di mana buronannya. Salah satu keberhasilan yang disinggung Kurnia adalah ketika pimpinan KPK di era Busyro Muqqodas berhasil menangkap tersangka dalam kasus suap pengadaan wisma atlet yang kabur ke luar negeri, Muhammad Nazaruddin.

Saat itu, KPK era Busyro butuh waktu 77 hari dan bekerja sama dengan Interpol serta polisi daerah Kolombia untuk membekuk eks Bendahara Umum Partai Demokrat tersebut. Setelah penangkapan dilakukan di Kolombia, Nazaruddin kemudian dibawa pulang ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.

Untuk penanganan buronan ini, Kurnia menganggap Firli dan empat pimpinan lainnya malah menjadikan KPK terkesan tak berdaya. Hal ini terbukti dengan Harun begitu lama ditemukan walau dia bersembunyi di Indonesia.

"KPK selama ini canggih ini kok melempem di era Firli. Sangat berbeda dengan era sebelumnya," ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan 14 eks anggota DPRD Sumut sebagai tersangka. Kasus tersebut bukan hal baru karena ini adalah pengembangan perkara sebelumnya. Sebab, KPK era Agus Rahardjo pernah menangkap dan menahan 50 unsur pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi Sumut periode 2004-2009 dan 2014-2019 dan telah menghukum pemberi suapnya yaitu Gatot Pujo.

"Setelah melakukan proses pengumpulan informasi, data dan mencermati fakta persidangan dalam perkara tersebut, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penyidikan dengan 14 orang Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019 sebagai tersangka," kata Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 30 Januari.

Adapun 14 orang ini adalah Sudirman Halawa, Rahmad Pardamean Hasibuan, Nurhasanah, Megalia Agustina, Ida Budiningsih, Ahmad Hosein Hutagalung, Syamsul Hilal, Robert Nainggolan, Ramli, Mulyani, Layani Sinukaban, Japorman Saragih, Jamaluddin Hasibuan, dan Irwansyah.

Mereka jadi tersangka karena diduga menerima suap berkaitan dengan laporan pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi Sumut tahun anggaran 2012-2014, persetujuan perubahan APBD Sumut tahun anggaran 2013-2014, pengesahan APBD Sumut tahun anggaran 2014-2015, dan penolakan penggunaan hak interpelasi pada 2015.

Atas perbuatannya, 14 orang ini kemudian disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat (1) dan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.