Bagikan:

JAKARTA - Pihak Ditjen Imigrasi Kemenkumham akhirnya angkat bicara soal keberadaan tersangka pemberi suap terhadap eks komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, yaitu Harun Masiku. Mereka mengatakan, caleg PDI Perjuangan itu sudah kembali ke Indonesia pada 7 Januari yang lalu dari Singapura dan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.

Mereka berdalih, informasi perlintasan yang dilakukan oleh buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini lama diketahui karena adanya restrukturisasi Sistem Manajemen Keimigrasian (Siskim) di Terminal 2F Bandara Soetta.

"Kami sampai saat ini kami sedang lakukan restrukturisasi Simkim yang sedang berproses. Nanti apakah ada kaitannya atau tidak dengan hal itu, karena dengan adanya restrukturisasi Simkim, ini berimbas kepada data dan update sistem dalam teknis kesisteman," kata Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang dalam konferensi pers di Kantor Kemenkumham, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu, 22 Januari.

Meski berdalih penataan sistem bisa saja berimbas pada data perlintasan, namun, menurut Arvin hal semacam ini tak lazim terjadi. "Tidak lazim terjadi, tapi kalau mati lampu di Bandara Soetta itu pernah. Apakah ini ada hubungannya atau tidak kita lakukan pendalaman. Apakah ada kaitannya karena kita restrukrisasi? Masih kami lakukan pendalaman," ungkapnya.

Pihak imigrasi boleh saja berdalih penataan sistem menjadi alasan mereka lambat menyadari jika Harun telah kembali ke Indonesia, namun, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar justru menyangsikan pernyataan yang disampaikan dalam konferensi pers tersebut.

Menurutnya, Ditjen Imigrasi Kemenkumham harusnya menjadi instansi yang paling tahu ketika Harun masuk kembali ke Indonesia dari Singapura. Apalagi, instansi ini punya tugas untuk memelototi lalu lintas masyarakat dari dalam maupun ke luar negeri.

"Menurut saya tidak ada alasan sistemik yang dapat dijadikan argumen untuk menyatakan terlambat mengetahui. Karena begitu HM (Harun Masiku) masuk kembali ke Indonesia paspor discan dan dicap, artinya itu sudah terekam pada perangkat imigrasi," kata Fickar kepada VOI lewat pesan singkat, Rabu, 22 Januari.

Selain itu, Fickar juga menyebut, pada hari operasi tangkap tangan (OTT) terjadi yaitu Rabu, 8 Januari, pihak imigrasi dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yassona Laoly dengan yakin mengatakan Harun masih berada di luar negeri tepatnya di Singapura. "Apakah ini tindakan kesengajaan sebagai alibi atau tafsir apa yang akan diberikan terhadap kejadian ini?" tanya pakar hukum pidana ini.

Kemungkinan jerat obstruction of justice

Begitu licinnya Harun Masiku dari jeratan KPK dianggap publik karena ada pihak yang membantu pelarian pemberi suap itu. Jika memang dugaan itu benar, kata Fickar, bukan tak mungkin pihak yang membantu tersangka penyuapan ini dikenakan pasal Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Diketahui, pasal ini mengatur hukuman bagi mereka yang melakukan 'obstruction of justice' atau menghalang-halangi pengusutan suatu kasus korupsi. KPK pernah mendakwa beberapa orang yang terlibat dalam usaha merintangi penyidikan satu kasus korupsi. Salah satunya adalah advokat Fredrich Yunadi yang merupakan mantan pengacara eks Ketua DPR RI Setya Novanto yang terbukti bersalah dalam kasus megakorupsi e-KTP.

Kembali ke soal penerapan pasal 21 atau obstruction of justice, Fickar mengatakan jika ada pembuktian terkait upaya manipulasi informasi dalam pelarian Harun Masiku, maka hal itu pasal tersebut bisa dikenakan pada pelaku nantinya. "Tindakan itu bisa ditafsirkan sebagai menghalang-halangi penyidikan sebagainaba diatur dalam pasal 21 UU Tipikor," tegas Fickar.

Terkait penggunaan pasal tersebut, lembaga antirasuah pun sudah angkat bicara. Plt. Juru Bicara KPK bagian penindakan Ali Fikri mengatakan pihaknya masih belum berani berspekulasi soal penerapan pasal obstruction of justice tersebut terkait kaburnya Harun Masiku.

Lembaganya, kata Ali, lebih memilih menunggu hasil pendalaman pihak imigrasi yang menyebut ada gangguan pada perangkat mereka di Bandara Soetta, ketika Harun melakukan perlintasan dari luar ke dalam negeri.

"Kita nanti ikut dulu, seperti apa kendalanya, kita ikuti dulu pendalamannya. Kami tidak mau berspekulasi, apakah itu faktor sengaja dan lain-lain karena informasi resminya kan belum disampaikan oleh Pak Dirjen. Kita ikuti dulu prosedur itu," ungkap Ali di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Rabu, 22 Januari kepada wartawan.

Dia juga menegaskan, saat ini KPK telah bekerjasama dengan pihak kepolisian untuk melakukan penangkapan terhadap tersangkanya yang buron itu. Hanya saja, kendala saat ini, lembaga antirasuah tersebut belum mengetahui secara pasti persembunyian Harun. "Sejauh ini KPK beserta dengan bantuan Polri terus berupaya mencari dan menangkap tersangka HAR," tegasnya.

Diketahui, dalam kasus suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI 2019-2024, Harun ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap oleh KPK bersama Saeful yang belakangan disebut sebagai staff petinggi PDI Perjuangan.

Sedangkan sebagai penerima suap, KPK menetapkan eks komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan bersama Agustiani Tio Fridelina (ATF) yang merupakan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang merupakan orang kepercayaannya.

Dalam kasus ini, Wahyu disebut meminta uang operasional sebesar Rp900 juta untuk mengubah hasil pleno KPU terkait PAW anggota DPR RI untuk menggantikan Nazarudin Kiemas yang merupakan caleg PDIP dari Dapil Sumatera Selatan I yang meninggal dunia.