Benarkah Agenda Pemberantasan Korupsi Tetap Kuat Walau Ada Revisi UU KPK?
Gedung KPK (Syamsul Ma'arif/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Politika Research and Consulting merilis hasil survei mereka terkait persepsi publik tentang kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Survei ini diambil dengan metode multi-stage random sampling dan diikuti 2.197 responden dari 34 provinsi yang berusia di atas 17 tahun ataupun mereka yang telah menikah dengan margin of error mencapai 2,13 persen.

Dari hasil survei tersebut, peneliti utama Politika Research dan Consulting, Ian Suherlan mengatakan, sebanyak 57,9 persen responden merasa puas dengan kinerja pemerintah dalam waktu 100 hari ini. Sementara yang merasa kurang puas sebanyak 27,7 persen dan yang tak puas hanya berkisar 5,3 persen.

Salah satu isu yang ada di dalam survei itu adalah para responden merasa yakin terhadap agenda pemberantasan korupsi walau ada UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Revisi UU KPK.

Meski sebanyak 63,8 persen responden mengaku tak mengikuti perkembangan revisi UU KPK, tapi hasil survei itu mengatakan 53,4 persen responden meyakini agenda pemberantasan korupsi tak terganggu dengan revisi ini.

Menurut Ian, hanya 24,5 persen yang mengikuti isu soal revisi UU KPK yang belakangan dianggap melemahkan. Tapi, para responden itu meyakini, revisi itu tak berpengaruh banyak pada pemberantasan korupsi. Apalagi, selama ini, KPK bukanlah satu-satunya lembaga yang menangani kasus korupsi.

"Jadi meskipun kami bertanya tahu atau tidak soal revisi UU KPK dan yang tahu 24,5 persen tapi untuk pertanyaan kedua soal pemberantasan korupsi tidak spesifik pada KPK karena yang memberantas korupsi bukan hanya KPK tapi ada kejaksaan dan kepolisian," kata Ian dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 23 Februari.

Rilis survei Politika Research and Consulting (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Kenyataannya, masih banyak yang mempertanyakan kerja KPK dengan adanya UU ini. Salah satunya adalah karena tak kunjung tertangkapnya buronan mereka Harun Masiku yang jadi tersangka pemberi suap kepada eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

Selain itu, kecurigaan soal kinerja KPK juga muncul setelah adanya penghentian penyelidikan 36 kasus yang tengah mereka usut. Adapun kasus yang dihentikan ini berkaitan dengan korupsi di BUMN, kementerian, dan anggota DPR RI.

“KPK mengonfirmasi telah menghentikan 36 perkara di tahap penyelidikan. Hal ini kami uraikan lebih lanjut sesuai dengan prinsip kepastian hukum, keterbukaan, dan akuntabilitas pada publik sebagaimana diatur di Pasal 5 UU KPK,” kata Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri, Jumat, 21 Februari.

Ali membantah jika penghentian penyelidikan ini baru terjadi di era kepemimpinan Firli Bahuri cs. Sebab, di masa kepemimpinan Agus Rahardjo pada periode 2014-2019 lalu ada 162 kasus yang pernah dihentikan di tingkat penyelidikan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan keputusan penghentian penyelidikan puluhan kasus ini. Peneliti ICW Wana Alamsyah menilai ada beberapa mekanisme yang harus dilakukan oleh lembaga antirasuah tersebut. Salah satunya, adalah gelar perkara.

"Apabila ke 36 kasus tersebut dihentikan oleh KPK, apakah sudah melalui mekanisme gelar perkara?" kata Wana kepada VOI beberapa waktu lalu sambil menambahkan tiap proses penghentian ini harusnya melibatkan setiap unsur, mulai dari tim penyelidik, tim penyidik, hingga tim penuntut umum.

Sehingga berkaca dari penghentian perkara ini, Wana menilai, kerja penindakan di era kepemimpinan Firli Bahuri cs akan menurun drastis dibanding tahun sebelumnya. Apalagi, Firli hanya mengerjakan kasus warisan dari era Agus Rahardjo seperti suap Bupati Sidoarjo dan suap eks Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.

"Dengan banyaknya jumlah perkara yang dihentikan oleh KPK pada proses penyelidikan, hal ini menguatkan dugaan publik bahwa kinerja penindakan KPK akan merosot tajam dibandingkan dengan tahun sebelumnya," tutupnya.