Bagikan:

JAKARTA - Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengajak negara-negara di dunia untuk membangkitkan solidaritas global. Hal itu dikatakannya dalam Sidang ke-78 Majelis Umum PBB di New York, AS, Sabtu 23 September.

“Dunia saat ini berada di persimpangan jalan. Satu-satunya jalan untuk mengatasi berkurangnya kepercayaan dan kesenjangan global adalah dengan meningkatkan solidaritas dan tanggung jawab kolektif global,” kata Retno dalam transkrip pidatonya yang disampaikan Kemlu, disitat Antara.

Seruan tersebut diambil dari pesan inti Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan di Bandung, Jawa Barat, pada 1955. Melalui 10 Prinsip Bandung, Indonesia menyerukan kepada seluruh negara untuk menghormati hak asasi manusia, Piagam PBB, kedaulatan dan integritas wilayah, kesetaraan, menyelesaikan konflik secara damai, serta mendorong peningkatan kerja sama dan kepentingan bersama.

“Semangat Bandung itu mendorong Indonesia menjadi negara yang bisa ‘mendengar’ dan selalu menjadi bagian dari solusi,” kata Retno.

Dia menjelaskan bahwa bagi Indonesia, kepemimpinan global tidak hanya melulu tentang kekuasaan atau pengaruh untuk mendikte orang lain. Kepemimpinan global adalah tentang mendengarkan yang lain, menjembatani berbagai kepentingan atau bridge builder, menghormati hukum internasional secara konsisten, serta menghormati semua negara secara setara.

Kembali menyoroti situasi global yang tidak menentu dengan kepercayaan yang kian tergerus dan rivalitas antarnegara terus menajam, Retno memaparkan bahwa hal itu telah menghalangi negara-negara berkembang dalam memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Untuk itu, ia memaparkan tiga strategi untuk membangun kembali kepercayaan dunia dan menghidupkan kembali solidaritas global.

Pertama, Indonesia mendesak kepemimpinan kolektif global.

“Nasib dunia tidak boleh ditentukan oleh segelintir pihak/negara”, kata Retno.

Dia menekankan bahwa dunia yang damai, stabil, dan sejahtera adalah hak dan tanggung jawab kolektif seluruh negara, baik itu negara besar atau kecil, di utara atau selatan, maupun negara maju atau negara berkembang.

Menlu RI juga mendesak seluruh pihak untuk dapat menjunjung tinggi hukum internasional, khususnya prinsip utama kedaulatan dan integritas wilayah dan memastikan semua perbedaan diselesaikan di atas meja perundingan, bukan di medan perang.

Secara khusus, tanggung jawab kolektif ini sangat yang diperlukan untuk menyelamatkan rakyat Palestina dan Afganistan.

“Sudah terlalu lama kita membiarkan saudara dan saudari kita di Palestina dan Afghanistan menderita. Indonesia tidak akan mundur sedikit pun untuk perjuangan mereka”, tutur Retno.

Kedua, Indonesia mendorong pembangunan untuk semua.

Menlu RI menyampaikan bahwa setiap negara memiliki hak yang sama untuk membangun dan tumbuh. Namun sayangnya, arsitektur global saat ini hanya menguntungkan beberapa negara saja.

Kebijakan perdagangan yang diskriminatif disebutnya masih terus terjadi, rantai pasok global masih dimonopoli, negara berkembang masih dililit hutang asing. Semua ini menjadi faktor pendorong tergerusnya kepercayaan dan solidaritas.

“Ini saatnya bagi kita untuk melakukan perubahan. Hilirisasi industri tidak boleh jadi seruan eksklusif dari negara berkembang saja, tetapi harus juga didukung oleh negara maju”, ujar dia.

Terkait isu perubahan iklim, Menlu Retno juga menyerukan negara-negara maju untuk memenuhi tanggung jawab mereka termasuk untuk pembiayaan perubahan iklim, investasi hijau, dan transfer teknologi.

Sementara untuk isu teknologi, ia berharap teknologi digital terkini seperti kecerdasan buatan (AI) dapat diakses juga oleh negara-negara berkembang, karena penting bagi pertumbuhan berkelanjutan mereka.

Ketiga, Indonesia mendorong upaya memperkuat kerja sama regional.

“Institusi regional harus menjadi kontributor utama dan 'building blocks’ bagi perdamaian dan kemakmuran dunia”, kata Retno.

Menurut Retno, ASEAN adalah contoh kerja sama kawasan yang efektif dan berkontribusi bagi perdamaian dan kemakmuran global. Sebagai ketua ASEAN tahun ini, Indonesia telah berhasil menavigasi ASEAN melewati dinamika geopolitik yang tidak mudah di kawasan.

“Kami tidak akan membiarkan kawasan kami jadi ladang rivalitas. Bahkan, kami telah menjadikan kawasan ini sebagai pusat pertumbuhan, di mana semua negara diuntungkan,” kata Retno.

Lebih lanjut ia juga menyampaikan bahwa selama keketuaan Indonesia di ASEAN, ASEAN tetap bersatu dan sentralitasnya semakin kuat.

ASEAN juga telah memulai pembahasan visi jangka panjang ASEAN 2045, menjalin kemitraan dengan Forum Kepulauan Pasifik serta Asosiasi Negara-Negara Lingkar Samudera Hindia dalam rangka menciptakan kawasan Indo Pasifik yang damai, serta mengimplementasikan Pandangan ASEAN terhadap Indo-Pasifik ke dalam kerja sama konkret dan inklusif.

Terkait isu Myanmar, Menlu RI menegaskan bahwa ASEAN akan terus mendesak junta militer Myanmar untuk mengimplementasikan Konsensus Lima Poin.

“ASEAN akan melakukan segala upaya untuk memastikan rakyat Myanmar tidak sendirian”, ujar Retno.

Di akhir pidatonya, Menlu Retno kembali menandaskan perlunya reformasi sistem multilateral yang ada saat ini dan mengajak negara-negara untuk menerjemahkan komitmen mereka ke dalam aksi nyata.