JAKARTA - Komisi X DPR RI merespons kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tentang skripsi yang tidak lagi menjadi syarat utama kelulusan bagi mahasiswa S1 dan D4. Kebijakan ini dinilai bisa meminimalisir penggunaan AI.
"Jadi sebetulnya bisa dilakukan (bebas skripsi), hanya harus dipahami agar literasi kemampuan menulis tetap tidak hilang,” ucap Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi, Rabu 30 Agustus.
Sebelumnya, Mendikbudristek Nadiem Makarim membuat aturan baru tentang penghapusan kewajiban skripsi, tesis dan disertasi sebagai syarat lulus bagi mahasiswa. Mahasiswa diperbolehkan membuat project atau prototipe sesuai dengan arahan dari perguruan tinggi atau kampus.
Aturan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dan diterbitkan seiring peluncuran Merdeka Belajar Episode Ke-26: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi.
Salah satu syarat perguruan tinggi tak mewajibkan skripsi kepada mahasiswanya adalah prodi mahasiswa bersangkutan sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek maupun bentuk lain yang sejenis. Namun bagi mahasiswa yang belum menjalani kurikulum berbasis proyek, maka syarat lulus kuliahnya yaitu tugas akhir yang juga tidak harus berbentuk skripsi.
Bentuk lain dari skripsi bisa berupa prototipe, proyek, maupun bentuk sejenis lainnya. Tugas akhir ini juga dapat dikerjakan secara individu maupun berkelompok. Dede pun menyebut penghapusan skripsi, tesis dan disertasi sudah dilakukan di beberapa negara-negara maju dan berkembang lainnya.
BACA JUGA:
"Beberapa negara di luar negeri tidak wajib skripsi dan bisa memilih beberapa opsi seperti ujian akhir, profesional project atau intership (magang) pada industri/lembaga terkualifikasi," tutur Legislator dari Dapil Jawa Barat II itu.
Aturan baru kelulusan mahasiswa yang diperbolehkan membuat project dan prototipe, akan membantu mempersiapkan mereka menghadapi tantangan dunia nyata. Selain itu untuk memberikan wawasan mendalam ke dalam bidang studi.
Sistem project dinilai juga akan meminimalisir penggunaan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang akan mempengaruhi keaslian dalam pembuatan skripsi, tesis maupun disertasi. Dede menganggap kebijakan ini menjadi langkah maju dalam menghadapi era modernisasi.
“Dengan sistem project mungkin dikehendaki agar tidak hanya terjebak di bentuk tulisan saja. Apalagi sekarang ada AI, seperti Chat GPT," ungkap mantan Wagub Jawa Barat tersebut.
Namun Dede mengingatkan Kemendikbudristek agar membuat aturan yang jelas dan baku perihal penghapusan syarat skripsi, tesis dan disertasi bagi mahasiswa. Menurutnya, masih ada kerancuan dalam aturan tersebut.
“Jangan dilepas kebijakan kampus masing-masing. Nanti malah tidak jelas siapa yang bisa berubah dan mana yang belum bisa," jelas Dede.
Dalam peraturan baru ini, syarat kelulusan tidak wajib skripsi, tesis dan disertasi diserahkan kembali kepada keputusan perguruan tinggi. Setiap kepala prodi punya kemerdekaan untuk menentukan cara mengukur standar capaian kelulusan mahasiswa.
Untuk itu, kini standar terkait capaian lulusan ini tidak dijabarkan secara rinci lagi di Standar Nasional Pendidikan tinggi karena Perguruan tinggi dapat merumuskan kompetensi sikap dan keterampilan secara terintegrasi.
Dede menilai, jika ada aturan dan turunan yang jelas maka akan meminimalisir adanya kesalahan dalam setiap project dan prototipe yang dibuat mahasiswa.
"Project base atau kegiatan sosial pun harus ingin dengan program studi ilmu yang diambil. Jangan yang sama sekali tidak ada hubungannya," kata dia.
Di sisi lain, Dede mendorong Pemerintah agar memasifkan sosialisasi dan edukasi di setiap kampus dan perguruan tinggi tentang adanya perubahan dalam syarat kelulusan bagi mahasiswa.
"Intinya, setiap perubahan harus disikapi dengan berhati-hati," tutup Dede.