Menko PMK: 57,91 Persen Anak Usia Dini di Indonesia Tinggal di Rumah Tak Layak Huni
Menko PMK Muhadjir Effendy saat hadir secara virtual pada Rakornas iBangga BKKBN pada Kamis (24/8/2023). ANTARA/HO-BKKBN

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyampaikan masih ada 57,91 persen anak usia dini di Indonesia yang tinggal di rumah tidak layak huni.

"Ada 57,91 persen anak usia dini yang tinggal di rumah tidak layak huni," kata Muhadjir dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Jumat 25 Agustus, disitat Antara.

Data ini disampaikan Muhadjir saat menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Posisi Indeks Pembangunan Keluarga (iBangga) secara virtual yang diselenggarakan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada Kamis 24 Agustus.

Ia juga menyampaikan, berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, persentase balita stunting nasional masih pada angka 21,6 persen.

Muhadjir juga menyebutkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018 menunjukkan ada 16,4 persen anak yang belum memiliki akta kelahiran, tingginya angka perkawinan anak yang masih pada angka 8 persen, dan 3,73 persen bayi di bawah lima tahun (balita) masih mendapatkan pengasuhan tidak layak.

Selain itu, mengutip data Statistik Pemuda Indonesia (2022), ada 2,26 persen pemuda yang melakukan perkawinan di bawah umur 16 tahun (perkawinan anak), satu dari empat pemuda merokok, meningkatnya angka perceraian sebesar 15 persen (2021-2022), dengan penyebab utama (64 persen) perselisihan dan pertengkaran.

Kemudian, hanya 10 persen pemuda yang tamat dari perguruan tinggi, dan 33,05 persen pemuda masih bekerja dengan penghasilan kurang dari 2/3 median upah.

Sementara untuk permasalahan kemiskinan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2023 semester I atau Maret, masih terdapat 9,36 persen penduduk miskin yang tersebar di perkotaan dan perdesaan.

“Keluarga juga dihadapkan pada meningkatnya biaya hidup dan tingkat kemiskinan yang masih tinggi, ketidakseimbangan antara kerja dan kehidupan yang dapat meningkatkan konflik dan stress, serta dampak teknologi informasi dalam keluarga yang menyebabkan kurangnya waktu yang dihabiskan bersama (time togetherness), kemudian kecanduan gawai, hingga kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya individualisme," tuturnya.

Muhadjir mengatakan, selain situasi tersebut, keluarga juga menghadapi berbagai tantangan di masa sekarang, yakni perubahan struktur dari keluarga besar (extended family) menjadi keluarga inti (nuclear family), serta perubahan peran gender misalnya rumah tangga dikepalai oleh wanita dan pekerja wanita.

Untuk itu, Muhadjir menekankan pentingnya Indeks Pembangunan Keluarga (iBangga) yang bisa menjadi indikator keberhasilan dari kebijakan pembangunan keluarga, ditandai dengan meningkatnya capaian iBangga dari 54,00 pada tahun 2021 menjadi 56,07 pada 2022. Capaian ini harus ditingkatkan mengingat target pada tahun 2023 yakni 59 dan pada 2024 menjadi 61.