Ingin UU ITE Direvisi, Anies: Dikritik Jangan Marah, Tinggal Jawab Aja Kritiknya
Anies Baswedan capres Koalisi Perubahan untuk Persatuan dalam diskusi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, 24 Agustus. (Diah A-VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Bakal calon presiden (capres) Partai NasDem, Anies Baswedan menginginkan agar Undang-Undang ITE direvisi. Pasalnya, pasal karet pencemaran nama baik dalam aturan ini kerap digunakan untuk menyeret pihak pengkritik ke jalur hukum.

"Menurut saya pasal-pasal karet ini harus direvisi karena itu akan membungkam kebebasan berekspresi," kata Anies dalam diskusi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Kamis, 24 Agustus.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini berpandangan, kritik tidak perlu dipandang sebagai kegiatan kriminal, melainkam sebagai pembelajaran. Sebab, lanjut dia, kebijakan pemerintah selayaknya dijalankan lewat akal sehat, berbasis data, dan berlandaskan ilmu penelitian.

"Jadi saya dikritik jangan marah, tinggal jawab aja kritiknya. Pada saat itu saya menjawab kritik biarkan publik yang menilai, lebih masuk akal mana? Yang pengkritik atau yang memberi jawaban," ucap Anies.

Anies menyebut, negara menjalankan prinsip hukum dalam UU ITE untuk melindungi privasi dan data, bukan untuk membuat masyarakat menjadi takut untuk mengungkapkan kenyataan dan pandangannya.

"Kita membutuhkan UU ITE untuk melindungi seperti kerahasiaan data, privasi orang, proteksi atas informasi, itu yang kita butuhkan," ucap Anies.

"Kita ingin kebebasan berekspresi itu terjaga. Sehingga ketika ada ujaran kritik menyampaikan fakta-fakta, itu tidak berujung pada kriminal. Misalnya melaporkan problem jalan, melaporkan pelayanan kurang baik, itu harus dilindungi, dihormati," lanjutnya.

Anies mencontohkan, kritik-kritik yang disampaikan lewat mural semestinya dianggap sebagai proses mengekspresikan perjuangan. Karena itulah, semasa menjabat Gubernur DKI, Anies menyebut dirinya memberi ruang pada para seniman untuk membuat mural kritik sebagai bentuk ekspresi mereka.

"Itu konten-konten dan bahasa Indonesia itu menemukan ototnya di era kemerdekaan, ungkapan yang dulunya gemulai dalam bahasa Indonesia berubah menjadi ungkapan berotot dan ungkapan berotot itu dituliskan di tembok-tembok Mural di masa itu. Jadi, jangan lah mural itu dimusuhi, itu menjadi salah satu alat di masa perjuangan masa itu," imbuhnya.