JAKARTA - Sebanyak 54 negara menyepakati komitmen bersama untuk memperkuat mitigasi risiko tsunami dalam 2nd UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium, yang resmi ditutup oleh BMKG pada Kamis 14 November. Acara ini berlangsung selama lima hari di Banda Aceh, kota yang menjadi saksi bencana tsunami dahsyat pada 2004.
Deputi Bidang Geofisika BMKG, Nelly Florida Riama, menyampaikan bahwa simposium ini menjadi ajang refleksi atas perkembangan sistem peringatan dini tsunami selama dua dekade terakhir. Para peserta membahas tantangan global serta menyusun prioritas untuk meningkatkan efektivitas sistem peringatan dini dan kesiapsiagaan masyarakat.
“Diskusi selama simposium ini memperkuat upaya kolaborasi internasional, mendekatkan kita pada masa depan yang lebih aman dari risiko tsunami,” ungkap Nelly saat menutup acara di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh seperti keterangan tertulis yang diterima VOI.
BACA JUGA:
Ia juga mengapresiasi kontribusi para ahli yang berbagi pengetahuan dan praktik terbaik dalam mitigasi bencana. “Keahlian mereka memperkaya wawasan dan memotivasi strategi inovatif untuk memitigasi risiko tsunami,” tambahnya. Nelly berharap peserta terus mengembangkan inovasi di negara masing-masing sehingga komitmen ini menghasilkan aksi nyata untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa.
Sementara itu, Pj. Wali Kota Banda Aceh, Ade Surya, menyoroti keberhasilan kota tersebut dalam bangkit pasca-tsunami. Dua dekade setelah bencana, Banda Aceh telah menjadi wilayah yang lebih tangguh, didukung oleh infrastruktur modern, sistem peringatan dini yang canggih, dan masyarakat yang lebih sadar akan potensi bencana.
“Kami terus berkomitmen meningkatkan mitigasi, baik melalui pembangunan infrastruktur maupun penguatan kapasitas sumber daya manusia,” tegas Ade.
Ia juga menekankan pentingnya mengenang tsunami Aceh sebagai pelajaran berharga bagi generasi mendatang. “Dari Aceh, kami menitipkan pesan kepada dunia: jangan pernah lengah terhadap ancaman bencana,” pungkas Ade.