Bagikan:

JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menilai perlu adanya penataan ulang terhadap lembaga-lembaga negara. Salah satunya, mengembalikan MPR RI sebagai lembaga negara tertinggi.  

"Setelah 25 tahun lamanya kita memasuki era baru, era Reformasi sejak tahun 1998, kini saatnya kita merenungkan kembali penataan lembaga-lembaga negara kita," ujar Bamsoet saat pidato sidang tahunan di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 16 Agustus. 

Bamsoet menuturkan, reformasi telah melahirkan perubahan Undang-Undang Dasar yang sekian lama dianggap tabu untuk diubah. Perubahan Undang- Undang Dasar 1945, kata dia, telah menata ulang kedudukan, fungsi dan wewenang lembaga-lembaga negara yang sudah ada, sekaligus menciptakan lembaga-lembaga negara yang baru.

"Penataan ulang itu terjadi pula pada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis yang semula merupakan lembaga tertinggi negara, berubah kedudukannya menjadi lembaga tinggi negara. Majelis tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945," tuturnya. 

Bamsoet lantas menyinggung soal perintah Pasal 22E Undang- Undang Dasar 1945, yang secara tegas mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan lima tahun sekali. Baik pemilihan anggota-anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden. 

Masa jabatan seluruh menteri anggota kabinet, pun akan mengikuti masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang telah ditentukan oleh undang-undang dasar yakni hanya selama lima tahun. 

"Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana sekiranya menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan kita bersama, seperti bencana alam yang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan Pemilihan Umum tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi? Maka secara hukum, tentunya tidak ada Presiden atau Wakil Presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu," paparnya. 

"Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum? Bagaimana pengaturan konstitusional-nya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota-anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis?," tambahnya. 

Masalah-masalah tersebut, menurut Bamsoet, belum ada jalan keluar konstitusional-nya setelah Perubahan Undang- Undang Dasar 1945. Hal itu, kata dia, harus menjadi perhatian lantaran sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR masih dapat menetapkan berbagai Ketetapan yang bersifat pengaturan, untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi. 

"Apakah setelah perubahan undang-undang dasar MPR masih memiliki kewenangan untuk melahirkan Ketetapan-Ketetapan yang bersifat pengaturan? Hal ini penting untuk kita pikirkan dan diskusikan bersama, demi menjaga keselamatan dan keutuhan kita sebagai bangsa dan negara," katanya. 

"Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu," pungkas Bamsoet.