JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy melontarkan usulan adanya fatwa agar orang kaya menikahi orang miskin. Menurutnya fatwa lintas ekonomi ini bisa efektif untuk mengentaskan kemiskinan.
Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily mengaku, tidak sependapat dengan usulan Menko PMK. Menurut dia, pernyataan itu tidak tepat disampaikan. Sebab, kata dia, memilih jodoh adalah urusan pribadi dan negara tak perlu ikut campur.
"Ajaran Islam tentang perjodohan sekufu juga tak harus dimaknai sebagai kesalahan penafsiran," ucapnya, saat dihubungi VOI, di Jakarta, Jumat, 21 Februari.
Menurut Ace, lebih baik pemerintah mencari cara dan strategi yang tepat agar dapat menangggulangi kemisikanan, mengatasi ketimpangan ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan mensejahterakan rakyat.
"Memutus rantai kemiskinan itu dilakukan dengan memberikan akses rakyat miskin melalui pendidikan, kesehatan, penyediaan lapangan kerja, keterampilan berusaha atau kewirausahaan. Itu cara yang paling tepat untuk memutus kemiskinan," tuturnya.
Sependapat, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, pemerintah tidak punya hak untuk mencampuri urusan personal. Apalagi, fatwa itu juga tidak menjamin meningkatkan pendapatan mereka yang ekonominya di bawah.
"Dalam jangka panjang, konflik sosial akibat perbedaan kelas justru bisa membuat tingkat perceraian semakin tinggi. Jangan nikah sama orang miskin, faktanya orang kaya nikah dengan kelas menengah saja susah karena ada faktor gengsi dan tekanan sosial," tutur Bhima, kepada VOI.
Menurut Bhima, ketimbang pemerintah membuat wacana yang aneh, lebih baik memperbaiki dana bantuan sosial (Bansos) terhadap masyarakat miskin.
"Coba perbaiki dulu bansosnya, data BPJS Kesehatan dan kebijakan subsidinya. Program yang sudah ada saja belum beres kok, mau mencampuri urusan personal individu," ucapnya.
BACA JUGA:
Bukan Solusi Atasi Kemiskinan
Peneliti Indef Abra El Talattov mengatakan, dengan adanya fatwa pernikahan lintas ekonomi yang diusulkan Menko PMK, lantas dikaitkan dengan ketidakmampuan pemerintah atasi kemiskinan, tidak seluruhnya benar. Faktanya kemiskinan relatif turun meskipun angkanya masih tinggi.
Namun, kata Abra, pemerintah tetap memiliki pekerjaan rumah untuk mengentaskan kemiskinan. Menurut Abra, jika lihat angka kemiskinan nasional memang turun, tetapi lintas provinsi masih ada daerah yang angka kemiskinannya lebih tinggi dari tingkat nasional.
"Catatan saya ada 17 provinsi yang tingkat kemiskinannya lebih tinggi dari tingkat nasional 10 persen. Jadi bisa dibilang belum berhasil-berhasil banget," ucap Abra.
Pemerintah, kata Abra, harus menyebarkan sumber perekonomian di daerah guna menurunkan angka kemiskinan secara merata. Salah satunya, bisa dengan mengoptimalkan dana desa.
"Misalnya yang saat ini digadang-gadang oleh pemerintah adalah dana desa. Nah ini harus dioptimalkan lagi, supaya menjadi roda atau stimulus ekonomi di desa di daerah-daerah. Dengan dana desa yang banyak itu, pemerintah harus buktikan berapa banyak desa yang bisa mengentaskan kemiskinan melalui dana desa itu," ujarnya.
Selain itu, kata Abra, untuk menangani masalah kemiskinan pemerintah dapat manfaatkan bantuan sosial (bansos) yang sifatnya produktif, bukan hanya yang konsumtif. Meskipun, bantuan yang bersifat konsumtif juga dibutuhkan.
"Bantuan produktif seperti bantuan padat karya tunai selain dari luar dana desa," ucapnya.
Tak hanya itu, menurut Abra, yang tidak kalah strategis adalah bagaimana pemerintah melalui Kementerian BUMN juga punya mandat dalam UU BUMN di mana harus memberdayakan sektor kecil UMKM.
"Itu juga harus dilihat bagaimana peranan BUMN selama ini. Mungkin pemerintah lebih terukur, satu BUMN, satu anak BUMN mereka sudah membina berapa banyak sih UMKM? koperasi di Indonesia itu bisa diukur, dilihat wilayah mana saja. Masuk untuk dikoordinir atau dikoordinasikan oleh Kementerian BUMN, ini justru akan terasa dampaknya," jelasnya.