Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyatakan penerapan pasal suap membuat Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koorsmin Kepala Basarnas Letkol Afri Budi Cahyanto tetap diumumkan sebagai tersangka pada Kamis, 25 Juli. Padahal, saat itu belum ada surat perintah penyidikan (sprindik) yang diterbitkan.

“Karena prinsipnya suap menyuap ada pemberi dan penerima. Maka kita sampaikan kita menetapkan lima orang,” kata Alexander dalam konderensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin, 31 Juli.

Selain Henri dan Afri, KPK juga menetapkan tiga pihak swasta selain pemberi. Mereka adalah Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan, Dirut PT Intertekno Grafika Sejati Marilya, Dirut PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil.

Alexander memastikan bukti kuat perbuatan lima tersangka sudah mereka miliki. Namun, sprindik terhadap Henri dan Afri tidak diterbitkan KPK karena diserahkan kepada TNI.

“Kalau ketika pelaku tindak pidana masih berstatus TNI aktif maka penanganannya dilakukan pihak Puspom TNI,” tegasnya.

 

Diberitakan sebelumnya, langkah KPK mengumumkan Henri dan Afri sebagai tersangka disoroti eks penyidik KPK Yudi Purnomo. Sebabnya, saat itu KPK hanya menerbitkan sprindik bagi tiga pihak swasta yang terjerat dalam operasi senyap di lingkungan Basarnas.

“Seharusnya secara administrasi hukum ketika orang sudah diumumkan kepada publik sebagai tersangka, ketika ditetapkan pada saat gelar perkara seharusnya sudah ada sprindiknya,” kata Yudi saat berbincang dengan VOI, Senin, 31 Juli.

Yudi menerangkan secara materiil, KPK tentu sudah mengantongi bukti keterlibatan dua tentara aktif itu dalam dugaan suap pengadaan alat di Basarnas. “Tapi kembali lagi bahwa ini adalah formil,” tegasnya. 

“Jadi akan sangat tidak lazim ketika orang ditetapkan sebagai tersangka namun sprindiknya ngga ada. Inilah yang menjadi salah satu polemik,” ujar Yudi.