Pengusaha Restoran Ogah Hanya Boleh Layani <i>Take Away</i>: Kalaupun Mau, Bayarin Dulu Gaji Pegawai Kami
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Belakangan terjadi tren penyebaran COVID-19 lewat meja makan. Penularan terjadi ketika satu orang makan bersama meski sebelumnya telah menaati protokol kesehatan. Berkaca pada tren ini, muncul usulan agar Satgas COVID-19 mulai mempertimbangkan pelarangan makan di tempat bagi restoran.

Usulan ini berasal dari epidemiolog asal Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. Dimana aturan ini berkaca pada apa yang dilakukan oleh pemerintah Australia. Seiring dengan meningkatnya tren penyebaran COVID-19 lewat meja makan.

Tren tersebut juga sama seperti yang dialami Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Doni Monardo. Beberapa waktu lalu Doni menyatakan dirinya terpapar virus setelah makan bersama ketika melakukan kunjungan ke lokasi bencana alam.

Menanggapi usulan Budiman, Wakil Ketua Umum PHRI bidang Restoran Emil Arifin merasa keberatan sektornya dianggap sebagai klaster penyebaran COVID-19. Karena itu, dirinya meminta Budiman untuk menunjukkan data berdasarkan studi maupun survei yang menyatakan bahwa restoran saat ini menang menjadi klaster penyebaran COVID-19.

"Pertama buktikan dulu bahwa klaster (penyebaran COVID-19) itu terjadi di restoran atau di mal. Itu buktikan dulu ada tidak studinya, siapa yang melakukan survei," tuturnya, saat dihubungi VOI, di Jakarta, Kamis, 28 Januari.

Emil mengakui, memang pernah mendapatkan data dari pencatatan COVID-19 bahwa terjadi penularan di restoran dan kedai 30 persen. Meski begitu, kata dia, harus dibedakan antara restoran dan kedai makanan dalam hal penerapan protokol kesehatan.

"Pertanyaannya, kedai dan restoran tidak bisa disamakan. Kedai ada yang menerapkan protokol kesehatan. Sedangkan restoran yang terutama di mal itu menerapkan protokol kesehatan. Boleh dicek restoran di mal itu dobel protokol kesehatannya. Jadi sangat kecil terjadi penularan di restoran," ucapnya.

Kalaupun terjadi penularan COVID-19 di restoran, kata Emil, yang pertama kali terpapar adalah karyawan restoran yang bertugas melayani pelanggan. Namun, kata dia, hingga saat ini justru tak ditemukan penularan COVID-19 di restoran.

"Justru sampai sekarang belum ada. Karena kami melakukan pengecekan ada yang setiap minggu, ada yang dua minggu (sekali) rapid test antigen dan segala macam," tuturnya.

Karena itu, Emil meminta Budiman sebelum menyarankan Satgas COVID-19 memberlakukan aturan restoran hanya boleh take away, dibuktikan dulu dengan data yang akurat.

"Jadi sebaiknya cek dulu datanya, jangan karena satu orang makan (terpapar COVID-19), semua (restoran) ditutup," ucapnya.

Tak semua jenis makanan bisa di-take away

Emil Arifin mengatakan usulan restoran hanya melayani take away atau bawa pulang tidak dapat diterapkan di semua restoran. Sebab, kata dia, restoran memiliki menu makanan yang berbeda antara satu dengan yang lain.

"Tidak semuanya makanan bisa take away, misalnya steak bisa enggak di-take away? Enggak enak kalau di-take away. Shabu-shabu makanan Jepang di-take away bisa enggak? Susah dibikin take out. Jadi kalau martabak, pizza, bihun, mie itu masih bisa take away, tapi lain dari itu sulit," tuturnya.

Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Emil mengaku khawatir jika usulan ini diterapkan oleh pemerintah. Sebab, dapat membuat pengusaha mengurangi pegawainya dan hal ini akan berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran.

"Kalau diterapkan pasti tenaga kerja berkurang, pengangguran bertambah. Terus restorannya kalau ditutup, income dari mana? Tidak ada kan. Cuma dari take away? Ya mendingan tutup. Karena itu tidak akan menutupi biaya. Biaya sewa saja udah berapa, biaya listrik sudah berapa, tidak mungkin," jelasnya.

Pengusaha restoran bersedia tutup, asal pemerintah bayarin gaji pegawai

Emil mengatakan pengusaha restoran bersedia untuk tutup toko guna menghindari penularan COVID-19 melalui meja makan. Namun, ada syaratnya. Kata dia, pemerintah harus bersedia memberi kompensasi kepada para pegawai.

"Kalau mau ditutup boleh saja, tidak ada masalah. Tapi berikan kompensasi kepada pegawai yang bekerja supaya diberikan subsidi gaji selama restoran tutup," jelasnya.

Tak hanya gaji pegawai, kata Emil, pemerintah juga harus memberikan kompensasi kepada pengusaha restoran berupa dana segar untuk membayar sewa hingga tagihan listrik.

"Begitu juga kepada perusahaannya restorannya, biaya sewanya diganti, service charge-nya di ganti. Itu minimal yang bisa diberikan kompensasi kepada pengusaha restoran," katanya.

Di tengah krisis akibat pandemi COVID-19 ini, Emil menjelaskan, pengusaha lebih memilih untuk menutup tokonya ketimbang bertahan untuk tetap buka namun dengan aturan hanya boleh melayani take away. Sebab, kata dia, 80 persen income restoran berasal dari dine in atau makan di tempat.

Karena itu, kata Emil, restoran didesain untuk orang duduk makan di tempat. Makanya disediakan kursi, meja, dan lain-lainnya. Sementara income dari take away hanya 15 persen. Sehingga, jika harus mengandalkan sistem take away akan sulit untuk pengusaha restoran bertahan. Bahkan, di situasi pembatasan kegiatan masyarakat seperti saat ini penjualan dari sistem take away pun tidak meningkat.

"Ngarepin dari take away, dari dulu itu tidak pernah naik dari 15 persen. Paling 10 sampai 15 persen dari dulu sampai sekarang juga tidak naik. Income dari mana? tidak ada kan, cuma dari take away? Ya mendingan tutup. Karena itu tidak akan menutupi biaya. Untuk sewa saja udah berapa, biaya listrik udah berapa, tidak mungkin," tegasnya.

Sebelumnya, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman meminta Satgas COVID-19 mulai mempertimbangkan pelarangan makan di tempat bagi restoran dan food court. Kebijakan ini sama seperti yang dilakukan pemerintah Australia. 

Hal ini disampaikan menyusul tren penyebaran COVID-19 lewat meja makan. Belakangan, banyak penularan yang terjadi ketika satu orang makan bersama meski dia sebelumnya menaati protokol kesehatan. 

Sama seperti yang dialami Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Doni Monardo. Beberapa waktu lalu Doni menyatakan dirinya terpapar virus setelah makan bersama ketika melakukan kunjungan ke lokasi bencana alam.

"Selain ada sosialisasi, edukasi, perlu juga diperkuat dengan regulasi. Misalnya, enggak boleh makan bareng atau setting tempatnya diatur. Di Australia, misalnya, ketika situasi masih serius tidak ada namanya food court dibuka maupun restoran boleh duduk di situ. Bolehnya take away," kata Dicky saat dihubungi VOI, Rabu, 27 Januari.

"Jadi tidak ada itu tempat umum yang duduknya bisa berkumpul dibuka dan ketika itu dilanggar ya ada sanksi," imbuhnya.