JAKARTA - Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta, Ellen Hidayat mengatakan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh pemilik tenant-tenant di mal terkait dengan omzet yang anjlok karena tak bisa dine in, bisa langsung disampaikan ke pihak yang bersangkutan.
Terkait dengan pengeluaran yang tinggi namun pendapatan yang kecil, kata Ellen, para pengusaha restoran dapat menyampaikannya langsung kepada Pemprov DKI Jakarta. Menurut dia, yang bisa membantu meringankan beban adalah pemerintah.
"Mestinya mereka bersuara ke Pemprov DKI Jakarta," katanya kepada VOI, Jumat 19 September.
Sebelumnya, sebuah pertanyaan disampaikan oleh owner Holycow Steakhouse, Afit Dwi Purwanto melalui sosial media Instagram. Ia mempertanyakan bagaimana bisa membayar biaya rental, listrik, gaji karyawan, dengan pemasukan resto yang hanya sebanyak 1 hingga 3 porsi per hari.
Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menanggung biaya gaji karyawan selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) total jilid II diberlakukan. Hal ini karena, pengusaha atau pemilik tenant-tenant di mal, khususnya restoran, kehilangan omzet dan tak mampu membayar gaji karyawan.
Ketua Umum Hippindo, Budihardjo Iduansjah mengatakan, kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang hanya mengizinkan layanan take away atau pesan antar selama PSBB membuat gerai food and beverages (FnB) mengalami tekanan yang signifikan. Khususnya bagi perusahaan-perusahaan besar yang memiliki gerai di pusat-pusat perbelanjaan.
Menurut Budi, selama ini layanan take away hanya berkontribusi pada pendapatan 10 hingga 15 persen. Sedangkan pemasukan terbesar yakni 90 persen, berasal dari layanan dine in atau makan di tempat.
"Kalau ditutup tolong kami dibayarkan karyawannya. FnB restoran cafe, segala macam, termasuk McDonald, KFC itu semua terbesar adanya di dine in. Jadi orang mau makan, bungkus itu cuma 10 persen. Jadi kalau sekarang dibatasi cuma 10 persen masukannya. Bagaimana meng-cover biaya gaji, sewa, dan tagihan supplier?," tuturnya, kepada VOI.
BACA JUGA:
Pengeluaran terbesar, kata Budi, dialokasikan untuk tiga pos yaitu biaya gaji pegawai, biaya operasional dan biaya tagihan supplier. Menurut dia, saat Pemprov DKI memutuskan untuk kembali memberlakukan kebijakan PSBB, banyak pengusaha yang terpaksa menutup usaha dan merumahkan karyawannya.
"Memilih tutup sementara. Karena buka pun rugi. Bayangin kami buka, bayar sewa, bayar gaji, bayar listrik tapi yang datang cuma 10 persen. Tidak bisa nutup (pengeluaran), akhirnya karyawannya dirumahkan sampai PSBB selesai. Artinya tidak mendapat gaji juga karena dirumahkan. Itu sudah banyak yang seperti itu. Karena kalau buka mereka bangkrut," jelasnya.
Untuk membantu peritel bertahan, kata Budi, pemerintah harus memberikan bantuan berupa uang tunai. Nantinya, uang ini akan digunakan untuk membayar gaji karyawan dan sewa gedung.
Ia mencontohkan Singapura dan Malaysia yang mana peritelnya dibantu kala PSBB dengan memberikan bantuan untuk biaya karyawan 80 persen. Lalu, juga ada bantuan kepada pusat belanjanya dengan membantu tenant membayar 50 persen biaya sewa.
"Jadi yang kami minta, berikan bantuan uang ke kami. Jangan lagi uangnya dialokasikan untuk hal yang tidak tepat. Setiap tenant, alokasi pengeluarannya yakni untuk operasional 30 persen, dan gaji 30 persen. Itu sudah 60 persen. Jika diberi bantuan, paling tidak dapat membantu karyawan dan para supplier kami," jelasnya.