JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi akan mengundang enam orang pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan untuk dimintai klarifikasi soal Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN).
"Ada lima atau enam. Kalau sudah penyelidikan saya pasti kasih tahu," kata Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan dilansir ANTARA, Selasa, 19 Juli.
Namun Pahala belum mengungkapkan nama-nama pejabat Bea Cukai yang akan diundang untuk klarifikasi LHKPN maupun kapan para pejabat tersebut akan menjalani klarifikasi.
Pahala mengatakan bahwa para pejabat Bea Cukai yang diundang untuk memberikan klarifikasi LHKPN adalah para pejabat dengan harta kekayaan yang dinilai janggal oleh lembaga antirasuah.
"Janggal tuh artinya apa? Kalau dia besar banget, belum tentu juga janggal kalau dia punya warisan. Tapi, ya kita ambil saja, kita lihat rekeningnya semua, kita dengar semua informasi dari lapangan. Kalau ada harta lain yang belum disebut, kita analisa kewajaran hartanya. Kan dia ada pemasukan, ada pengeluaran. Kalau dia punya harta besar, dulu belinya dari mana. Kita balik ke belakang," ujar Pahala.
KPK hingga saat ini telah mengusut dua kasus melibatkan pejabat Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu yang berawal dari klarifikasi LHKPN. Pertama adalah Kepala Kantor Bea dan Cukai Yogyakarta Eko Darmanto yang kasusnya saat ini masih tahap penyelidikan.
Kedua adalah mantan Kepala Kantor Bea dan Cukai Makassar Andhi Pramono yang telah memasuki tahap penyidikan dan yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Penyidik KPK mengungkapkan Andhi Pramono diduga menerima gratifikasi hingga Rp28 miliar dengan menyalahgunakan wewenang jabatannya saat berdinas di Ditjen Bea dan Cukai.
BACA JUGA:
Andhi Pramono diduga memanfaatkan jabatannya untuk bertindak sebagai broker dan memberikan rekomendasi bagi para pengusaha yang bergerak di bidang ekspor impor sehingga nantinya dapat dipermudah dalam melakukan aktifitas bisnisnya.
Dari rekomendasi dan tindakan broker yang dilakukannya, AP diduga menerima imbalan sejumlah uang dalam bentuk fee.
Atas perbuatannya, tersangka AP dijerat dengan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Tersangka AP juga disangkakan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).