JAKARTA - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) bersama empat organisasi profesi menempuh langkah hukum berupa pengajuan judicial review atas Undang-undang Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kami dari IDI bersama dengan empat organisasi profesi akan menyiapkan upaya hukum sebagai bagian tugas kami sebagai masyarakat yang taat hukum untuk mengajukan judicial review," kata Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi dalam keterangan dilansir ANTARA, Rabu, 12 Juli.
Adib menilai UU Kesehatan cacat secara hukum sebab disusun secara terburu-buru dan tidak transparan tanpa memperhatikan aspirasi dari semua kelompok, termasuk profesi kesehatan.
Selain itu, kata Adib, masih banyak substansi di dalam UU Kesehatan yang belum memenuhi kepentingan kesehatan rakyat Indonesia.
IDI juga menyorot pencabutan sembilan undang-undang lama yang diselesaikan dalam UU Kesehatan Omnibus Law dalam waktu enam bulan.
"Kami melihat ketergesa-gesaan ini menjadi sebuah cerminan bahwa regulasi ini dipercepat. Apakah kemudian ada konsekuensi karena kepentingan-kepentingan yang lain?, Kami dari kelompok profesi tidak paham dengan hal seperti itu," katanya.
Adib menyinggung tentang hilangnya mandatory spending di dalam UU Kesehatan sebagai komitmen negara di tataran pemerintah pusat maupun daerah.
"Itu berarti, rakyat secara kuantitas tidak mendapatkan kepastian hukum dalam aspek pembiayaan kesehatan," katanya.
Adib mengatakan keputusan itu membawa konsekuensi privatisasi sektor kesehatan yang komersial melalui sumber dana pinjaman dari luar negeri.
"Bukan tidak mungkin, melalui pinjaman privatisasi sektor kesehatan, komersialisasi, dan bisnis kesehatan, yang ini sekali lagi akan membawa sebuah konsekuensi tentang ketahanan kesehatan Bangsa Indonesia," katanya.
Atas dasar itu, IDI bersama Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), sedang mempersiapkan judicial review atas UU Kesehatan.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dalam Rapat Paripurna RUU Kesehatan, Selasa (11/7), mengatakan pemerintah telah melaksanakan setidaknya 115 kali kegiatan dalam rangka partisipasi publik dalam RUU Kesehatan.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menggelar 1.200 agenda diskusi yang melibatkan 27.000 peserta dari para pemangku kepentingan hingga dihasilkan 6.011 masukan terkait RUU Kesehatan.
Terkait alasan penghapusan mandatory spending alias kewajiban belanja dalam UU Kesehatan, kata Menkes, didasari atas hasil evaluasi bahwa anggaran kesehatan tak diserap tepat sasaran, dan ada kecenderungan tidak transparan.
"Besarnya belanja atau spending dalam kesehatan tidak menentukan kualitas dari outcome yang dihasilkan yakni derajat kesehatan masyarakat Indonesia," katanya.
BACA JUGA:
Sebagai pengganti mandatory spending, pemerintah mengatur belanja kesehatan bukan berdasarkan pada besarnya alokasi dana, tapi berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah.
Menkes Budi menghargai perbedaan pendapat yang terjadi.
"Saya sangat menghargai perbedaan pendapat, tapi sampaikan dengan cara sehat, dan kapan pun saya terbuka bagi yang ingin berkomunikasi dengan saya," katanya.
"Biarkanlah demokrasi itu terjadi dengan intelek, terbuka, tanpa emosi, kata kasar. Biarkan masyarakat yang lihat mana argumentasi yang benar," katanya.
Pemerintah dan DPR secara resmi menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023.
Mayoritas fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang. Hanya Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS yang menolak pengesahan rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang.