JAKARTA - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan Undang-Undang (UU) Kesehatan tidak menghapus peran serta keberadaan organisasi profesi kesehatan.
“Kita juga sudah menjelaskan bahwa di undang-undang yang baru, organisasi profesi akan tetap ada. Cuma memang tidak ditulis di dalam undang-undang,” katanya dilansir ANTARA, Jumat, 14 Juli.
Terkait dengan tanggapan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama empat asosiasi lainnya yang ingin menempuh peninjauan kembali atas pengesahan UU Kesehatan, Menkes menuturkan keberadaan IDI sebagai organisasi profesi yang menaungi banyak kelompok di bidang kesehatan tidak akan dihapuskan dari undang-undang.
Hanya saja, katanya, keberadaan dan perannya akan diakui secara sama, seperti organisasi profesi lain yang bersifat serikat. Fungsi regulatori yang dimiliki IDI, juga akan dikembalikan kepada pemerintah, seperti aturan dasar yang sudah berlaku.
Menkes mengatakan hal yang disoroti dalam UU Kesehatan adalah rekomendasi untuk menghapus penerbitan Surat Izin Praktik (SIP), yang berdasarkan laporan dari para dokter muda, justru mempersulit mereka mendapatkan gelar spesialis.
Menkes Budi mengaku pertimbangan tersebut diambil pemerintah setelah mendengar masukan dari ahli yang tergabung dalam organisasi profesi, karena selain sulit didapat, SIP yang ingin dimiliki harganya amat mahal.
Dia juga menyatakan menyesal masalah ini terjadi ketika Indonesia amat kekurangan dokter spesialis di seluruh wilayah. Bahkan, distribusi dokter spesialis yang tidak merata, masih menjadi tantangan serius dalam pembangunan sistem kesehatan di Indonesia.
Maka dari itu, ia mengatakan langkah yang akan diambil IDI dan rekan sejawat sebagai hak berpendapat masing-masing pihak yang harus dihargai. Karena itu, dirinya tidak akan menghalangi upaya tersebut.
“Jadi kalau misalnya nanti menggugat, itu hak kembali masing-masing orang. Dengan demokrasi ini kita hargai. Tapi kalau saya menjelaskan kenapa itu tidak dilakukan, kita melihat banyak masukan dari dokter muda mereka kesulitan untuk mendapatkan spesialis, spesialis itu sangat susah dan sangat mahal,” kata dia.
BACA JUGA:
Sebelumnya, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) bersama empat organisasi profesi berupaya untuk menempuh langkah hukum berupa pengajuan peninjauan kembali atas Undang-Undang Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kami dari IDI bersama dengan empat organisasi profesi akan menyiapkan upaya hukum sebagai bagian tugas kami sebagai masyarakat yang taat hukum untuk mengajukan judicial review," kata Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi.
Adib menilai UU Kesehatan cacat secara hukum sebab disusun secara terburu-buru dan tidak transparan, tanpa memperhatikan aspirasi dari semua kelompok, termasuk profesi kesehatan.
Selain itu, katanya, masih banyak substansi dalam UU Kesehatan yang belum memenuhi kepentingan kesehatan rakyat Indonesia.
IDI juga menyorot pencabutan sembilan undang-undang lama yang diselesaikan dalam UU Kesehatan Omnibus Law dalam waktu enam bulan.
Dia menyinggung tentang hilangnya belanja wajib dalam UU Kesehatan sebagai komitmen negara di tataran pemerintah pusat maupun daerah.
Adib mengatakan keputusan itu membawa konsekuensi privatisasi sektor kesehatan yang komersial melalui sumber dana pinjaman dari luar negeri.
"Bukan tidak mungkin, melalui pinjaman privatisasi sektor kesehatan, komersialisasi, dan bisnis kesehatan yang ini sekali lagi akan membawa sebuah konsekuensi tentang ketahanan kesehatan Bangsa Indonesia," katanya.