Bagikan:

JAKARTA - Ketua DPR Puan Maharani prihatin makin banyaknya anak-anak yang menjadi pecandu rokok. Dia minta Pemerintah mengetatkan pengawasan dan pemberian edukasi yang masif agar anak bisa terbebas dari bahaya rokok.

Puan menyoroti Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di mana hasil riset tersebut menemukan jumlah perokok anak usia 10-18 tahun terus meningkat. Jika pada tahun 2013 berada di angka 7,2 persen, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun pada tahun 2018 menjadi 9, 1 persen pada 2018 atau sekitar 3,2 juta anak.

Bahkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan prevalensi perokok anak akan menjadi 16 persen pada 2030 atau setara dengan enam juta anak tanpa adanya upaya pencegahan yang sistematis dan masif. Puan meminta Pemerintah memberi perhatian serius.

"Peningkatan jumlah perokok anak tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Harus ada terobosan dari Pemerintah untuk menekan angka tersebut, ini juga bagian dari program jangka panjang Pemerintah," kata Puan, Jumat 7 Juli.

Perilaku merokok di kalangan anak sudah menjadi masalah global. Pusat Kajian Jaminan Sosial-Universitas Indonesia (PKJS-UI) menemukan berbagai macam survei global membuktikan Indonesia masuk peringkat dua prevalensi perokok anak terbanyak di dunia.

Persoalan perokok anak di Indonesia merupakan permasalahan serius yang membutuhkan intervensi mendalam untuk penanganannya. Apalagi masalah perokok anak di Indonesia mendapat perhatian serius dari kalangan internasional, terbukti dengan media-media asing yang menyebut Indonesia sebagai baby smoker country karena ada kejadian balita yang viral menjadi perokok.

"Pemerintah perlu mempertimbangkan faktor krusial yang menjadi penyebab anak mengkonsumsi rokok. Dengan langkah yang tepat sasaran, diharapkan jumlah perokok anak bisa menurun drastis," jelas Puan.

Puan mengajak semua pihak untuk meningkatkan kesadaran untuk meminimalisir faktor-faktor yang dapat menjadi pemicu peningkatan perokok anak.

“Perketat aturan iklan, promosi dan sponsor tentang rokok karena sarana informasi dari media sangat berpengaruh signifikan,” sebutnya.

"Kenyataannya di lapangan masih ada penjual rokok eceran yang memudahkan anak dalam mengkonsumsi rokok. Ini yang perlu pengawasan lebih jauh dari Pemerintah," tegas Puan.

“Ini juga harus ada kesadaran dari pengelola kios atau minimarket yang seharusnya tegas melarang anak 18 tahun ke bawah membeli rokok. Kita bisa belajar dari negara luar yang meminta pelanggan menunjukkan kartu identitas saat membeli rokok jika terlihat masih di bawah umur,” lanjutnya.

Paparan asap rokok pada anak pun patut menjadi perhatian semua pihak. Dengan menjadi second-hand smoker (terpapar asap langsung dari orang yang merokok) maupun third-hand smoker (paparan tidak langsung bisa melalui residu asap rokok yang menempel di pakaian), anak akan memiliki berbagai risiko kesehatan.

Untuk diketahui, anak yang menjadi perokok pasif lebih rentan mengalami batuk lama, menderita sakit radang paru (pneumonia), dan asma. Bahkan sebanyak 165.000 orang anak di dunia meninggal setiap tahun karena penyakit paru terkait dengan paparan asap rokok.

"Anak-anak yang sudah terpapar asap rokok di usia dini semakin besar berisiko mengalami gangguan kesehatan. Saya berharap orang dewasa yang merokok memiliki kepekaan mengenai hal ini. Kesehatan kesehatan anak adalah investasi kita bersama demi kemajuan bangsa dan negara,” urai Puan.