JAKARTA - Isu rasisme kembali mencuat di Indonesia pada 25 Januari. Kasus rasisme kali ini menimpa Natalius Pigai, mantan Komisioner Komnas HAM. Pigai mengadukan Ambroncius Nababan, politikus Partai Hanura karena telah menyandingkan fotonya dengan gorila di media sosial.
Bareskrim Polri sudah mengeluarkan surat panggilan pemeriksaan terhadap Ambroncius Nababan. Dalam surat panggilan bernomor S.Pgl/38/2021/Dittipidsiber, Ambroncius berstatus saksi.
Isu rasisme terhadap orang Papua ini bukan pertama. Orang Papua kerap menerima perilaku rasis, baik dalam bentuk hianaan fisik, psikis, maupun sosial.
Associate Professor Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Drs Irwan Martua Hadiyana, M.A., mengatakan bahwa rasisme di Indonesia memunyai sejarah yang panjang.
Irwan mengungkap rasisme tidak bisa dilepaskan dari warisan kolonial. Penyebabnya adalah sistem stratifikasi sosial yang diterapkan Belanda pada negara jajahannya.
Di masa pemerintahan Belanda, masyarakat di Indonesia dibagi menjadi tiga golongan. Strata tertinggi, yaitu golongan Eropa, yang berisi orang-orang Belanda. Strata kedua golongan Timur Asing, yang berisi keturunan Tionghoa dan Arab.
Strata terakhir ialah masyarakat pribumi, orang asli Indonesia. Dari penggolongan kelas masyarakat tersebut konsep rasisme terbentuk. Golongan masyakat Eropa, yaitu Belanda, menganggap ras mereka lebih unggul atau lebih tinggi derajatnya dari ras lain.
BACA JUGA:
Guru Besar Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM), Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, MA, M.Phil, mengungkap dasar rasisme disebabkan oleh perbedaan biologis.
“Setiap manusia sebetulnya pasti membedakan satu sama lain berdasarkan ciri fisik. Klasifikasi terhadap sesama manusia, semuaa orang pasti melakukannya. Tapi ketika satu ras dianggap lebih tinggi derajatnya, dianggap lebih baik, itu namanya rasisme,” tutur Heddy, melansir dari Kompas.
Melansir dari The Conversation melalui artikel berjudul "Irian Barat yang Dicinta Bung Karno, Papua yang Dikurung Rasisme" yang dipublikasikan VOI, masalah rasisme struktural terhadap OAP (Orang Asli Papua) sudah terjadi sejak zaman kolonial. Posisi OAP di Indonesia tidak setara dengan orang Indonesia di Jawa, Sumatera, dan pulau-pulau lain yang diduduki Belanda.
Rasisme kemudian muncul ketika Belanda mengirim orang pribumi sebagai kaki tangan pemerintah kolonial untuk mengatur kebijakan di Papua. Amberi, pribumi utusan, tersebut kemudian merasa superior dan menganggap OAP primitif dan tertinggal.