Bagikan:

JAKARTA - Direktur PT Pembangunan Jaya Ancol Winarto menjelaskan empat proyek mangkrak di kawasan wisatanya, mulai dari penyebab hingga tindak lanjut atas permasalahan tersebut.

Hal ini diungkapkan Winarto dalam rapat Komisi B DPRD DKI Jakarta. Winarto melaporkan, terdapat empat masalah proyek mangkrak, mulai dari kerja sama pembangunan apartemen dengan Crown, hotel dengan Marriot Group, pengembangan Sea World dengan PT Sea World Indonesia, dan pembangunan BTO Music Stadium di Mal ABC dengan PT Paramitha Bangun Cipta Sarana.

Proyek pertama, Ancol melakukan kerja sama pembangunan apartemen dengan Crown selaku pengembang pada 26 April 2018 di kawasan Ancol barat.

Namun, pembangunan belum dilakukan, Ancol dan Crown justru mengakhiri kerja sama pembangunan pada 20 Oktober 2019 karena tak yakni mampu mengembangkan bisnis properti tersebut.

"Tidak lama dari tanda tangan pembentukan KSO (kerja sama operasi), kedua belah pihak sepakat mengakhiri kerja sama ini, tidak jadi, karena perspektif properti yang sama-sama tidak yakin. Jadi, sudah ditutup 20 Oktober 2019," kata Winarto di Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu, 21 Juni.

Proyek kedua, Ancol dan Marriott Group sempat meneken kerja sama pembangunan hotel dengan 312 kamar di dalam kawasan Ancol pada 12 Desember 2012.

Pondasi bangunan sudah ditancapkan, kerja sama Ancol dan Marriott dihentikan. Kemudian, Marriott menawarkan rebranding kelas hotel kepada Ancol dari kelas Courtyard menjadi Fairfield.

"Tahun 2019, dilakukan upaya penyelesaian kembali oleh kedua belah pihak dengan syarat pengakhiran melalui SIAC, dan Ancol membayar kompensasi serta menanggung biaya legalitas. Lalu pada tahun ini, sedang dilakukan study kelayakan teknis dan ekonomis terkait kelanjutan proyek tersebut," jelas Winarto.

Pada proyek ketiga, masalah terjadi dalam kerja sama antara Ancol dengan PT Sea World Indonesia (SWI). Pada tahun 2011 lalu, terdapat perbedaan penafsiran antara Ancol dengan PT SWI atas build, operate, transfer (BOT) hak atas Undersea World Indonesia.

Dalam menghadapi konflik ini, Ancol dan PT SWI saling menggugat satu-sama lain lewat arbitrase, pengadilan negeri, hingga Mahkamah Agung pada tingkat kasasi.

"Sudah sejak 2018, ini PJA (Ancol) memenangkan seluruh perkara di setiap tingkat pemeriksaan sampai kasasi MA. jadi, sudah inkrah, sudah dioperasikan oleh PJA sejak 2018. Sampai sekarang tetap beroperasi, seluruh income masuk ke PJA," jelas Winarto.

Lalu pada proyek keempat, Ancol mengadakan perjanjian kerja sama build, transfer, operate (BTO) Music Stadium di Mal ABC dengan PT Paramitha Bangun Cipta Sarana (PT PBCS).

Namun, PT PBCS mengalihkan kerja sama perusahaannya bersama Ancol menjadi dengan afiliasinya yakni PT Wahana Agung Indonesia Propertindo (PT WAIP). Usai pembangunan selesai, dilakukan serah terima aset BTO dari PT WAIP ke Ancol pada 20 Desember 2012 dan 31 Juli 2013.

Masalah dimulai pada tahun 2014, di mana terdapat sengketa pengelolaan antara PT WAIP dengan salah satu tenantnya yang melakukan pengelolaan terhadap area konser dalam bangunan music stadium atas nama PT Mata Elang Internasional Stadium (PT MEIS).

"PT MEIS juga mengajukan PT PJA (Ancol) turut sebagai tergugat dalam beberapa gugatan (pmh) perdata. Padahal, dalam kasus tersebut tidak ada hubungan hukum antara PT MEIS dengan PT PJA," urainya.

Dalam menghadapi hal ini, Ancol meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Kejaksaan Agung RI, Ombudsman RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta (2020), hingga Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta (2022) dengan pendapat pengambilalihan pengoperasian bisa dilakukan setelah sengketa hukum antara PT WAIP dan PT MEIS diselesaikan agar tidak menimbulkan konsekuensi hukum baru kepada Ancol.

"Pengambilalihan dilakukan berdasarkan kesepakatan antara PT WAIP dan PT PJA yang tidak merugikan PT PJA. Atas kewajiban pembayaran minimum payment tahun 2021 dan 2022 kepada PT PJA telah ditandatangani kesepakatan relaksasi rescheduling dan telah dilakukan pembayaran sesuai kesepakatan," imbuhnya.