Polres Garut: 200 Orang Bekerja di Laut Luar Negeri Secara Ilegal
Polisi memberikan keterangan pers pengungkapan kasus tindak pidana perdagangan orang di Kabupaten Garut, Jawa Barat, Senin (19/6/2023). (ANTARA/Feri Purnama)

Bagikan:

GARUT - Kepolisian Resor Garut menyebutkan ada sekitar 200 orang Indonesia menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dipekerjakan mencari ikan di laut luar negeri secara ilegal oleh perusahaan penyalur tenaga kerja migran di Kabupaten Garut, Jawa Barat.

"Ada sekitar lebih dari 200 orang di laut Fiji maupun laut Afrika, kita masih menunggu, apakah masih ada korban-korban lainnya atau tidak," kata Kepala Satuan Reskrim Polres Garut AKP Deni Nurcahyadi saat jumpa pers pengungkapan kasus TPPO dikutip ANTARA, Senin, 19 Juni.

Polres Garut mengungkap praktik TPPO oleh perusahaan penyalur tenaga kerja ilegal yang beralamat kantor di Tanjung Kamunding, Kecamatan Tarogong Kaler, Rabu (7/6).

Hasil dari pengungkapan itu, kata dia, terdapat 10 orang yang siap diberangkatkan kerja ke luar negeri, dan tiga orang yakni pemilik perusahaan dan pembantunya yang sekarang sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Perusahaan itu, lanjut dia, sudah beroperasi sejak 2017, selama itu sudah memberangkatkan kurang lebih 300 orang untuk bekerja sebagai anak buah kapal mencari ikan di perairan Fiji dan Afrika Selatan.

"Sudah beroperasi semenjak tahun 2017, dari 2017 sampai sekarang 300 orang yang diberangkatkan dari PT tersebut," katanya.

Dia menjelaskan kegiatan perusahaan itu hanya memiliki badan hukum usaha, sedangkan beberapa izin lainnya seperti izin penempatan awak kapal tidak ada, sehingga bisa disebut kegiatan penyalurannya ilegal.

Perusahaan itu, lanjut dia, merupakan kantor inti yang selama ini melakukan perekrutan calon pekerja dari berbagai daerah di Indonesia untuk disalurkan menjadi pekerja migran pada sektor mencari ikan di perairan Fiji dan Afrika Selatan.

"Negara tujuannya adalah ke Fiji dan Afrika Selatan, mereka ditempatkan sebagai ABK di kapal ikan," kata Deni.

Dia mengungkapkan keberadaan perusahaan penyalur tenaga kerja migran itu sudah menyalahi aturan yang tidak memberikan perlindungan ketika pekerjanya bermasalah di luar negeri.

"Ketika korban diberangkatkan ke laut, ketika tidak ada izin dari usaha tersebut, ketika nanti korban mengalami intimidasi atau mengalami hal-hal yang tidak kita inginkan, pihak perusahaan tidak bertanggung jawab karena tidak memiliki legal untuk korban," katanya.

Polisi saat ini sudah menetapkan tiga tersangka dalam kasus TPPO di Garut yakni insisial R (41) sebagai pemilik perusahaan, kemudian AS (26), dan MF (23) sebagai pembantu untuk mencari pekerja dan mengurus segala administrasi.

Ketiga tersangka saat ini sudah ditahan di Rumah Tahanan Polres Garut untuk menjalani pemeriksaan hukum lebih lanjut dan dijerat dengan Pasal 10 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, Jo Pasal 53 UU RI Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dengan ancaman hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara.