Punya Aset Nilainya Hanya Rp70 dan Jadi Temuan BPK, PAM Jaya Beri Penjelasan 
Rapat Komisi B DPRD DKI/FOTO: Diah Ayu-VOI

Bagikan:

JAKARTA - Perumda PAM Jaya menjelaskan penyebab masalah-masalah dalam catatan laporan keuangan tahun 2022 yang menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari temuan ini, BPK pun menaruh Disclaimer atau tak memberikan opini atas laporan keuangannya.

Sejumlah masalah yang jadi temuan BPK mulai dari nilai aset tetap tidak memadai, pengelolaan persediaan tidak produktif, pengelolaan rekening escrow tidak memadai, serta pencatatan utang uang jaminan langganan (UJL) tidak didukung dengan daftar rincian yang lengkap.

Dalam rapat Komisi B DPRD DKI Jakarta, Arief Nasrudin mengakui saat ini PAM Jaya tak memiliki detail atas perolehan nilai aset sampai 1986 setelah revaluasi. Hal itu yang menyebabkan nilai aset saat itu hanya sebesar Rp70.

Kemudian, Arief mengaku, dalam list aset tetap PAM Jaya, terdapat perolehan project tahun 1997 dengan nilai total yang tidak ada detailnya dengan nilai buku per 31 Desember 2022 sebesar Rp40.

"Memang inilah pengakuan kami bahwa kami kurang dikuatkan dengan fakta file yang memang kami sudah berusaha melakukan pengecekan namun tidak diketemukan, karena memang secara usia cukup lama," kata Arief di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa, 13 Juni.

Arief juga menjelaskan temuan BPK soal persedian tidak produktif PAM Jaya dengan nilai perolehan Rp30,4 miliar tidak diyakini kewajarannya.

Menurut dia, hal ini merupakan persediaan pipa dan aksesoris sebelum kerja sama swastanisasi air dengan para mitra tahun 1997 yang sudah tidak digunakan lagi kemudian dipindahkan menjadi aset tidak produktif.

Sedangkan nilai buku saat ini sebesar Rp2,9 miliar setelah penyusutan 19 tahun sejak tahun 2003 sehingga menurut kantor akuntan publik, nilai tersebut tidak masuk material.

"PAM Jaya pernah mengajukan permohonan penghapusan kepada Dewan Pengawas pada tahun 2003, tetapi belum ditindaklanjuti untuk proses penghapusan tersebut. Sejak tahun 2009, PAM Jaya melakukan kebijakan akuntasi untuk melakukan penyisihan atas penurunan persedian tidak produktif," jelas Arief.

Selanjutnya, pada temuan pengelolaan rekening escrow oleh PAM Jaya yang tidak memadai serta laporan PAM Jaya belum menyajikan saldo dan transaksi dana yang dikelola bersama oleh PAM Jaya dan mitra.

Arief menyebut pihaknya tidak menyajikan semua transaksi penerimaan dan pengeluaran yang ada di rekening escrow yang dicatat hanya bagian PAM Jaya dari shore revenue dan unshored revenue.

"Walaupun tidak disajikan, semua data terkait dengan mutasi rekening escrow yang dihasilkan dari kerja sama dengan kedua mitra swasta tetap dipelihara dan dipantau," ucap dia.

Selain itu, Arief pun menjelaskan temuan BPK soal penyajian utang jaminan pelanggan senilai Rp53,3 miliar tidak didukung dengan daftar rincian yang lengkap dan akurat.

Kata dia, uang jaminan langanan (UJL) terbentuk sejak PAM JAYA berdiri sejak tahun 1922 hingga saat ini. Dengan demikian, terdapat beberapa fase dalam pencatatan UJL, yaitu sebelum masa kerja sama dengan mitra Palyja dan Aetra, selama masa swastanisasi air, dan setelah masa berakhirnya swastanisasi air.

Selama masa swastanisasi air, data UJL yang dimiliki PAM JAYA untuk AETRA hanya mulai dari tahun 2009 sedangkan untuk PALYJA mulai tahun 2017.

Sementara, database pelanggan yang lengkap baru dapat diakses setelah masa transisi dan saat itu PAM JAYA sudah mengidentifikasi adanya perbedaan rinciaan dari UJL. Saat ini, manajemen telah melakukan proses rekonsiliasi

data tersebut.

"Dari nilai UJL senilai Rp 53,3 miliar, sudah didukung data rincian untuk 505.467 pelanggan dengan total sebesar Rp 39 miliar, sedankan yang belum bisa dirinci sebesar Rp.14,2 miliar. Penyebab perbedaan tersebut adanya pelanggan yang tergusur, adanya disconnection, dan adanya pelanggan yang tidak aktif," imbuhnya.