Bagikan:

JAKARTA - Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menjawab santai atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemprov DKI tahun 2022.

Meski laporan keuangan DKI tahun 2022 mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), BPK masih menemukan adanya kelebihan bayar hingga dana APBD yang mengendap.

BPK pun meminta Pemprov DKI untuk menindaklanjuti rekomendasi perbaikan atas tersebut. Secara singkat, Heru menyebut temuan-temuan BPK ini akan segera dibahas bersama jajaran Pemprov DKI untuk diselesaikan.

"Akan kita tindak lanjuti. Kita akan rapat (membahas rekomendasi dari temuan BPK)," kata Heru usai penyerahan laporan hasil pemeriksaan (LHP) keuangan dari BPK di gedung DPRD DKI Jakarta, Senin, 29 Mei.

Begitu juga dengan masih adanya bantuan sosial yang belum disalurkan. Heru memandang temuan ini tidak menjadi masalah besar, selama rekomendasi temuan tersebut ditindaklanjuti Pemprov DKI.

"Enggak masalah," ungkap Heru.

Dalam kesempatan itu, Pemprov DKI Jakarta mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan hasil pemeriksaan keuangan daerah tahun 2022 dari BPK.

Namun, predikat WTP bukan berarti tak memperlihatkan adanya masalah dalam laporan keuangan Pemprov DKI. BPK menemukan masih adanya permasalahan terkait pengelolaan keuangan daerah sepanjang tahun 2022 tersebut.

Hal ini disampaikan Anggota V BPK RI Ahmadi Noor Supit dalam rapat paripurna penyerahan laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK kepada Pemprov DKI di Gedung DPRD DKI Jakarta.

"Tanpa mengurangi keberhasilan yang telah dicapai, BPK masih menemukan permasalahan terkait pengelolaan keuangan daerah," kata Ahmadi Noor Supit, Senin, 29 Mei.

Masalah pertama, terdapat kelebihan pembayaran atas belanja senilai Rp11,34 miliar dan denda keterlambatan senilai Rp34,53 miliar, sehingga totalnya Rp45,87 miliar.

"Kelebihan pembayaran atas belanja senilai Rp11,34 miliar terjadi karena adanya kelebihan perhitungan gaji dan tambahan penghasilan senilai Rp6,39 miliar, kekurangan volume pengadaan barang/jasa sebesar Rp4,06 miliar, kelebihan pembayaran belanja hibah dan bansos senilai Rp878 juta," urai Ahmadi Noor Supit.

Sedangkan, denda keterlambatan yang tercatat BPK senilai Rp34,53 miliar. Atas permasalahan tersebut, telah dikembalikan ke kas daerah sebesar Rp14,66 miliar.

Masalah kedua adalah dana mengendap bantuan sosial KJP Plus dan KJMU senilai Rp197,55 miliar yang belum disalurkan kepada penerimanya, serta bantuan sosial pemenuhan kebutuhan dasar senilai Rp15,18 miliar yang disebut BPK tidak sesuai ketentuan.

Masalah ketiga yakni penatausahaan penyerahan dan pencatatan aset tetap fasos-fasum yang belum tertib.

"Ketidaktertiban tersebut antara lain dua bidang tanah fasos fasum yang telah diterima dari pemegang Surat Izin Penguasaan Penggunaan Tanah (SIPPT) Rp17,72 miliar berstatus sengketa, penerimaan aset fasos fasum belum seluruhnya dilaporkan oleh Walikota ke BPAD," urai Ahmadi Noor Supit.

"Aset fasos fasum dikuasai dan/atau digunakan pihak lain tanpa perjanjian, pencatatan ganda aset fasos fasum dalam KIB, serta aset fasos fasum berupa gedung, jalan, saluran, dan jembatan dicatat dengan ukuran yang tidak wajar yaitu 0 m2 atau 1 m2," lanjutnya.

Permasalahan kelebihan bayar hingga dana mengendap KJP Plus-KJMU seperti ini sebelumnya juga menjadi temuan BPK dalam hasil pemeriksaan keuangan Pemprov DKI era Anies Baswedan yang menjabat Gubernur DKI periode 2017-2022.

"Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK, tentang tindak lanjut atas rekomendasi laporan hasil pemeriksaan. Jawaban atau penjelasan dimaksud disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima," ucap dia.