Bagikan:

JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan hasil pemeriksaan keuangan daerah tahun 2022 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Namun, predikat WTP bukan berarti tak memperlihatkan adanya masalah dalam laporan keuangan Pemprov DKI. BPK menemukan masih adanya permasalahan terkait pengelolaan keuangan daerah sepanjang tahun 2022 tersebut.

Hal ini disampaikan Anggota V BPK RI Ahmadi Noor Supit dalam rapat paripurna penyerahan laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK kepada Pemprov DKI di Gedung DPRD DKI Jakarta.

"Tanpa mengurangi keberhasilan yang telah dicapai, BPK masih menemukan permasalahan terkait pengelolaan keuangan daerah," kata Ahmadi Noor Supit, Senin, 29 Mei.

Masalah pertama, terdapat kelebihan pembayaran atas belanja senilai Rp11,34 miliar dan denda keterlambatan senilai Rp34,53 miliar, sehingga totalnya Rp45,87 miliar.

"Kelebihan pembayaran atas belanja senilai Rp11,34 miliar terjadi karena adanya kelebihan perhitungan gaji dan tambahan penghasilan senilai Rp6,39 miliar, kekurangan volume pengadaan barang/jasa sebesar Rp4,06 miliar, kelebihan pembayaran belanja hibah dan bansos senilai Rp878 juta," urai Ahmadi Noor Supit

Sedangkan, denda keterlambatan yang tercatat BPK senilai Rp34,53 miliar. Atas permasalahan tersebut, telah dikembalikan ke kas daerah sebesar Rp14,66 miliar.

Masalah kedua adalah dana mengendap bantuan sosial KJP Plus dan KJMU senilai Rp197,55 miliar yang belum disalurkan kepada penerimanya, serta bantuan sosial pemenuhan kebutuhan dasar senilai Rp15,18 miliar yang disebut BPK tidak sesuai ketentuan.

Masalah ketiga yakni penatausahaan penyerahan dan pencatatan aset tetap fasos-fasum belum tertib.

"Ketidaktertiban tersebut antara lain dua bidang tanah fasos fasum yang telah diterima dari pemegang Surat Izin Penguasaan Penggunaan Tanah (SIPPT) Rp17,72 miliar berstatus sengketa, penerimaan aset fasos fasum belum seluruhnya dilaporkan oleh Walikota ke BPAD," urai Ahmadi Noor Supit.

"Aset fasos fasum dikuasai dan/atau digunakan pihak lain tanpa perjanjian, pencatatan ganda aset fasos fasum dalam KIB, serta aset fasos fasum berupa gedung, jalan, saluran, dan jembatan dicatat dengan ukuran yang tidak wajar yaitu 0 m2 atau 1 m2," lanjutnya.

Permasalahan kelebihan bayar hingga dana mengendap KJP Plus-KJMU seperti ini sebelumnya juga menjadi temuan BPK dalam hasil pemeriksaan keuangan Pemprov DKI era Anies Baswedan yang menjabat Gubernur DKI periode 2017-2022.

Lantas, BPK meminta Pemprov DKI segera menindaklanjuti rekomendasi perbaikan dari permasalahan-permasalahan laporan keuangan tahun 2022 ini.

"Kami berharap agar hasil pemeriksaan BPK dapat memberikan dorongan untuk terus memperbaiki pertanggungjawaban pelaksanaan APBD," ungkap Ahmadi Noor Supit.

"Saya berharap Pimpinan dan Anggota DPRD dapat ikut memantau penyelesaian tindak lanjut atas rekomendasi hasil pemeriksaan yang terdapat dalam LHP ini sesuai dengan kewenangannya," tambahnya.

Sebagai informasi, predikat WTP dari BPK telah diraih Pemprov DKI selama enam tahun berturut-turut, sejak kepemimpinan Anies Baswedan menjabat Gubernur DKI hingga kini dipimpin Heru Budi Hartono.

Opini yang disematkan oleh BPK kepada suatu lembaga atau intstansi pemerintah adalah merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.

Sementara, opini WTP adalah penghargaan tertinggi atas akuntabilitas pengelolaan keuangan suatu instansi pemerintahan.