JAKARTA - Miliarder George Soros menyerahkan kendali atas kerajaannya yang sangat besar kepada putranya, Alexander, kata juru bicara Soros pada Hari Minggu.
Juru bicara tersebut mengonfirmasi rincian dari sebuah wawancara dengan Soros yang diterbitkan di The Wall Street Journal pada Hari Minggu.
Seorang manajer hedge fund yang berubah menjadi filantropis dan pendukung utama gerakan liberal, Soros (92) sebelumnya mengatakan tidak ingin Open Society Foundations (OSF) miliknya diambil alih oleh salah satu dari lima anaknya.
Namun, berbicara mengenai keputusannya untuk menyerahkan yayasan dan sisa kekayaannya senilai 25 miliar dolar AS (Rp371.798.750.000.000) kepada putranya yang berusia 37 tahun dan biasa dipanggil Alex, Soros mengatakan: "Dia pantas mendapatkannya," seperti melansir Reuters 12 Juni.
Dicerca oleh kaum konservatif, dan sering menjadi target konspirasi anti-Semit, George Soros menggunakan kekayaannya yang terkumpul sebagai pemodal di tahun 1970-an dan 80-an untuk mendirikan OSF, yang mendukung berbagai macam tujuan dan organisasi nirlaba di seluruh dunia, mulai dari program tata kelola pemerintahan yang baik dan pengembangan demokrasi hingga inisiatif kebijakan publik yang liberal.
Ia juga merupakan salah satu donatur terbesar Partai Demokrat di Amerika Serikat, seperti mengutip The National News.
Lebih politis
Saat diwawancarai oleh surat kabar tersebut, Alex mengatakan bahwa dia "lebih politis" daripada ayahnya, berencana untuk terus menyumbangkan uang keluarga kepada kandidat politik AS yang berhaluan kiri (liberal).
Dia juga mengatakan akan memperluas prioritas yayasannya dengan memasukkan hak memilih dan hak aborsi serta kesetaraan gender.
Pria kelahiran tahun 1985 mengatakan kepada Wall Street Journal, salah satu tujuan utamanya adalah menentang kemungkinan masa jabatan kedua dari mantan presiden Donald Trump.
"Saya ingin sekali mengeluarkan uang dari dunia politik, namun selama pihak lain melakukannya, kami juga harus melakukannya," katanya.
Lebih fokus pada politik dalam negeri daripada Soros senior, Alex sudah fokus untuk membantu Partai Demokrat meningkatkan daya tarik mereka di kalangan pemilih Latin dan meningkatkan jumlah pemilih kulit hitam.
"Partai kami harus menjadi lebih baik dengan menjadi lebih patriotik dan inklusif. Hanya karena seseorang memilih Trump, bukan berarti mereka tersesat atau rasis," tuturnya.
Dewan OSF memilih Alex sebagai ketuanya pada Bulan Desember. Ia sekarang mengarahkan aktivitas politik sebagai presiden komite aksi politik Soros.
Yayasan ini menyalurkan dana sekitar 1,5 miliar dolar AS per tahun kepada kelompok-kelompok seperti mereka yang mendukung hak-hak asasi manusia di seluruh dunia dan membantu membangun demokrasi, demikian laporan Journal.
Surat kabar AS tersebut juga mengatakan bahwa ia adalah satu-satunya anggota keluarga dalam komite investasi untuk Soros Fund Management, perusahaan yang mengawasi uang keluarga dan yayasan.
Citra flamboyan
Jauh sebelum keputusan pemilihannya untuk mewarisi kekayaan sang Ayah, Alex memiliki sisi yang berbeda 180 derajat.
Putra Soros dari Sejarawan Susan Weber ini pada tahun 2008 pertama kali menjadi berita utama, karena tampil di pesta-pesta mencolok setelah media menerbitkan foto-fotonya dari media sosialnya, menurut New York Times pada Bulan Juli 2012, seperti dikutip dari Business Insider.
Foto-foto tersebut menunjukkan dia "bersantai di rumah ayahnya di Southampton, minum 40 gelas wine sambil berlayar dengan kapal keluarga dan para gadis," menurut Times, mengutip blog CityFile yang berfokus di NYC.
Liputan tentang pesta pora dan penggambaran dirinya sebagai anak pesta membuatnya terkejut. "Saya menjadi karikatur ini," katanya kepada media tersebut.
Pada saat itulah ia mulai beralih ke dunia filantropi, bergabung dengan Open Society Foundations Board pada tahun 2011, yang membuatnya lebih dekat dengan ayahnya, demikian menurut Times.
BACA JUGA:
Namun, laporan sesekali tentang gaya hidup pestanya yang flamboyan terus bermunculan, dengan New York Post yang menggambarkan pesta yang dipenuhi oleh para model, pemain NBA dalam sebuah laporan pada Bulan September 2016.
Pada saat yang sama, Alex berhasil mengerjakan tesis Ph.D-nya di University of California Berkeley yang berjudul "Jewish Dionysus: Heine, Nietzsche and the Politics of Literature" - yang mengungkapkan sisi intelektualnya.
Menariknya, sejak masa remaja Alex mulai terikat dengan ayahnya melalui bahasa Latin dan Marx, menurut laporan Times pada tahun 2012.